Batal Urus Izin Paten karena Kemahalan Birokrasi
Perajin kayu, Eko Witono tergolong kreatif. Di tengah membanjirnya permainan impor yang tergolong canggih dan modern, ia malah membikin permainan anak-anak berbahan kayu. Eloknya, kreasi permainan ini jauh lebih mendidik ketimbang mainan impor yang acap digerakkna denga tenaga baterai. Seperti apa permainan itu?
Di depan stan pameran di Balai Pemuda Surabaya, terlihat orang-orang lagi sibuk memainkan kayu. Permainan berbentuk kubus, limas, dan bola itu dibongkar kemudian dicoba untuk dikembalikan utuh seperti semula.
Tapi, untuk mengembalikan ke bentuk aslinya, ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan logika tinggi untuk bisa memecahkan permainan ini. Terlihat seorang cewek berjilbab membongkar kayu-kayu menjadi beberapa bagian. Ia lantas berusaha menyusun lagi. Rupanya, niatan untuk menyusun kembali tak juga bisa dilakukan. Kedua tangannya terlihat membolak-balikkan potongan kayu berwarna kecoklatan. "Sulit juga permainan ini. Sepintas kelihatan gampang," ujar calon pembeli ini agak penasaran.
Itulah permainan Puzzle IQ kreasi Eko Witono. Pria asli Surabaya yang kini menetap di Jogjakarta ini menekuni pembuatan Puzzle IQ sejak tahun 1999. Untuk membuat permainan ini, pria lulusan IKIP Jogjakarta ini tidak cuma mengadopsi puzzle yang berkembang di beberapa negara maju, seperti Pentomino asal Jepang, Bingkai Logika asal Belanda, atau Dadu Renteng asal Prancis. "Puzzle-puzzle dari negara-negara maju ini saya kembangkan lagi. Saya tidak njiplak begitu saja," tuturnya.
Kreasi puzzle pria ini lumayan banyak. Selama tiga tahun berkiprah di dunia permainan ini, ia sudah berhasil menciptakan tak kurang dari 50 bentuk permainan. Sebagian besar permainan itu hasil pengembangan dari permainan puzzle impor.
"Saya terus mempelajari perkembangan permainan ini. Kemudian, saya berkreasi untuk menciptakan permainan baru. Saya jamin kreasi saya terus ada yang baru," tukasnya.
Diakui, untuk menciptakan permainan ini memang agak susah. Sebelum mencipta, ia juga harus bisa menyusun rumusnya. Pengalaman menarik pernah didapat. Sebelum bisa memproduksi Bingkai Logika, ia harus berjuang ekstra keras memecahkan rahasia permainan ini. Tak tanggung-tanggung, ia membutuhkan 1.5 bulan untuk bisa mendapatkan rumus permainan tersebut. "Semua permainan puzzle ada kata kuncinya. Kalau sudah ketemu, pasti mudah. Sebaliknya, kalau tidak ketemu, pengen membanting saja," kelakar pria kelahiran 1968 ini.
Menggeluti dunia permainan puzzle sudah menjadi pilihan hidupnya. Sebulan ia bisa memproduksi lebih dari 500 aneka permainan puzzle. Dari junmlah itu, dalam waktu setengah bulan, total habis terjual. "Lumayan bisa membuka lowongan pekerjaan untuk prang lain," katanya merendah.
Ditambahkan Witono, ada satu keinginan yang menjadi cita-cita besarnya. Apa itu?
Ia ingin mematenkan puzzle bikinannya. Sayang, niat untuk mematenkan hak karya intelektual itu terbentur ruwetnya birokrasi di Indonesia.
Pernah ia berusaha mengurus izin paten. Tapi, niatan itu langsung dibatalkan karena tiap satu permainan puzzle, ia harus membayar Rp 1 juta. Berarti, total biaya yang dibutuhkan untuk mematenkan 50 kreasi puzzlenya dibutuhkan dana Rp 50 juta. "Seketika itu saya batalkan. Wajar kalau karya-karya orang Indonesia banyak diakui dan diklaim sebagai karya orang luar negeri. Izinnya pakai uang sih," keluhnya.
Permainan yang bisa mengasah otak kanan ini dijual pada kisaran Rp 10-20 ribu untuk permainan tingkat dasar, Rp 25rb untuk permainan menengah, dan Rp 35 ribu untuk permainan mahir.
Agar pembeli tidak kesulitan memecahkan permainan ini, setiap pembeli diberi rumus permainan. Syaratnya, rumus itu tidak boleh dibuka sebelum berusaha memecahkan persoalan. Untuk permainan tingkat dasar, rumus baru boleh dibuka setelah tiga hari memncoba permainan tapi tidak berhasil. Sedangkan untuk permainan menengah, pemain diberi toleransi waktu seminggu, dan permainan mahir satu bulan. "Jadi setelah mentok tidak bisa menyususn seperti aslinya, baru boleh buka rumus," pintanya.
Radar Surabaya, 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar