Alat Peraga Edukatif

ALAT PERAGA EDUKATIF: Adalah istilah populer di dunia Pendidikan umumnya, dan khususnya Pendidikan Anak Usia Dini. Sebagai salah satu jenis permainan yg tidak saja mengedepankan sisi edukatif (proses pembelajaran) tetapi juga unsur hiburan bagi anak-anak yg memainkannya. APE juga bermanfaat untuk berbagai macam jenis therapy bagi banyak kalangan, mulai dari anak-anak usia balita, remaja, dewasa, hingga lansia, seperti okupasi therapy, brain gyms, dll. Sayangnya, istilah APE saat ini dipahami hanya sebatas APE u/PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Sehingga eksistensi APE bagi siswa SD, SLTP, SMU, Mahasiswa, dst. seolah-olah dinafikan sama sekali keberadaannya. Selain itu, APE seringkali digambarkan sebatas permainan berupa puzzle atau mainan bongkar pasang saja. Sehingga APE lain seperti tower hanoi, balok bangun, globe, rangka/anatomi tubuh manusia, origami, lego, dll. seolah-olah identik dengan puzzle. Benarkah demikian? Mari kita cermati bersama keberadaan APE di tengah-tengah sistem pendidikan yang ada di negeri ini.

Kamis, 30 April 2015

Membuat Anak Gila Membaca



Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Kapan kita mulai dapat mengajarkan membaca kepada anak? Para ahli menyebutkan, usia 2 tahun dalam bentuk pengenalan kegiatan pra-membaca. Tetapi Jim Trelease menunjukkan dalam bukunya yang bertajuk The Read Aloud Handbook bahwa mengenalkan membaca kepada anak dapat dimulai semenjak anak mulai mampu mengikuti gerakan kita dengan penglihatannya. Ini sekitar usia 4 bulan. Tetapi semuanya dimulai semenjak dini, jauh sebelum usia 2 tahun. Mengenalkan kegiatan pra-membaca itu sangat penting. Tapi itu saja tidak cukup. Sangat tidak cukup. Tumbuhnya minat baca yang kuat juga tidak cukup. Minat baca yang kuat tidak dengan sendirinya sama dengan minat belajar. Keduanya berbeda. Tetapi jika minat membaca terarah dengan baik, lebih mudah menumbuhkan minat belajar.

Apa yang Perlu Kita Ajarkan?
Yang paling mudah adalah mengajarkan keterampilan. Lihatlah HP dan smartphone, betapa mudahnya orang menggunakan keduanya. Tak peduli apa jenjang pendidikannya. Makin kompleks sebuah keterampilan, makin sulit menumbuhkannya. Tetapi tetap lebih mudah dibandingkan menumbuhkan minat dan kecintaan. Demikian pula membaca. Betapa banyak anak yang sudah terampil membaca sebelum masuk SD, tapi saat kelas 1 atau 4, minat bacanya ambruk dan gairah belajarnya runtuh. Hancur dan seakan tak pernah ada.
Orang yang berminat akan berusaha untuk menguasai, yang mau akan berusaha untuk mampu, tetapi yang mampu belum tentu mau. Bahkan besarnya kemampuan yang tidak disertai kemauan, justru menjadikan anak lebih mudah mengalami kejenuhan. Ia menjauhi, sehingga lebih sulit baginya mengembangkan kemampuan.

Maka, yang paling pokok untuk kita lakukan saat anak usia dini adalah mengakrabkan, menjadikan mereka suka dan menanamkan kepada mereka bahwa membaca itu sangat penting serta penuh manfaat. Kita tumbuhkan dorongan kepada mereka untuk senantiasa berusaha membaca dan memperoleh sumber bacaan yang bergizi. Inilah yang jauh lebih penting untuk kita tumbuhkan pada diri anak-anak kita di usia mereka yang sangat dini. Bukan sekedar kemampuan mengeja atau menunjukkan nama-nama benda dalam buku.
Gizi buku juga jauh lebih penting daripada bentuk buku. Kita kadang begitu asyik memilihkan buku yang bagus dan berbentuk lucu, tetapi lupa bahwa isi buku jauh lebih membekas pengaruhnya dibandingkan bentuk buku. Ingatlah, kita mengajari anak membaca bukanlah semata agar mereka terampil membaca. Ada yang lebih penting, yakni menjadikan membaca itu sebagai jalan mereka untuk meraup ilmu dan mengenal Allah subhanahu wa ta’ala. Bukankah Allah Ta’ala mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tidak mereka ketahui dengan perantara pena? Dan jalan untuk mengambilnya adalah membaca. Bukan sekedar membunyikan huruf. Karena itu, kita perlu sekali memperhatikan gizi buku yang kita pilihkan untuk anak-anak, terlebih di usia dini. Inilah masa untuk mengakrabkan mereka dengan tauhid di atas aqidah yang lurus ataukah menanamkan syubhat aqidah semenjak dini. Alangkah banyak buku yang lucu, tetapi isinya mengajarkan kelicikan, tipu daya dan kesyirikan.

Apa Media Pembelajaran yang Tepat?
Menurut berbagai literatur yang pernah saya pelajari, sarana terbaik untuk mengenalkan membaca kepada anak adalah buku-buku banyak gambar sedikit kata alias WPB (Wordless Picture Book). Ada yang dicetak dengan kertas tebal luks, ada yang menggunakan kain, ada pula yang menggunakan media lain. Berbeda-beda bentuknya, tapi ada satu hal yang mempersamakan, yakni harganya mahal.
Apakah ini tidak baik? Bahkan sangat baik, asalkan isinya bergizi. Sekali lagi, yang perlu diperhatikan adalah kandungan isi buku tersebut (semoga Allah Ta’ala ampuni kelalaian kami dalam memilihkan buku untuk anak-anak). Kami pun menggunakan media semacam itu untuk menumbuhkan minat baca anak-anak, terutama yang awal. Berikutnya, sebagian memanfaatkan sisa-sisa kakaknya, sebagian memanfaatkan apa saja yang dapat dibacakan kepada anak. Tak harus buku WPB. Yang paling pokok adalah gizi buku itu dapat dijamin, dapat dijaga. Buku bacaan untuk orang dewasa pun asalkan isinya penuh gizi, semisal 10 Sahabat Nabi Dijamin Masuk Surga, sangat baik untuk kita bacakan buat merangsang anak kita suka membaca. Mereka paham? Belum. Tetapi apa yang kita bacakan tersebut sangat bermanfaat bagi mereka tatkala semakin bertambah usia. Bacaan itu menjadi semacam cetak biru yang mempengaruhi diri anak di masa-masa berikutnya.

Hal penting yang perlu kita perhatikan adalah antusiasme kita sangat mengajarkannya kepada anak; membacakannya kepada mereka. Antusiasme orangtua dalam mengajarkan membaca jauh lebih penting daripada media yang dipergunakan. Antusiasme kita akan mudah merangsang anak tertarik membaca. Tetapi jika anak sudah sangat bersemangat, bekal berikutnya yang perlu kita miliki adalah sabar. Kerapkali yang menjadi masalah bukanlah tenaga kita, bukan juga minat mereka, tetapi daya tahan kita menghadapi kebosanan karena diminta membacakan buku yang sama persis 5 kali berturut-turut atau bahkan lebih.

TV & Online Game: Pembunuh Waktu yang Terhormat
Tidak ada media yang lebih efektif untuk menghancurkan minat baca melebihi kegemaran nonton TV buat anak-anak. Bukan soal tayangannya yang buruk (dan di Indonesia umumnya disesaki tontonan sangat buruk), tetapi terutama efek shallowing (pendangkalan berpikir) akibat menonton TV (meskipun tayangannya sangat bagus). Shallowing effect ini lebih parah lagi manakala anak-anak sudah tenggelam dalam keasyikan berinternet atau pun bermain gadget. Dan yang paling parah adalah ketika anak-anak sudah terjerembab ke dalam bius online game. Banyak akibat mengerikan yang ditimbulkan manakala anak-anak kecanduan game online. Mereka dapat menghabiskan waktu dan perhatian yang sangat besar dengan bermain game online. Ini belum soal akibat lanjutan berupa ketidakmampuan memusatkan perhatian, obsesi terhadap kekerasan, efek pornografis maupun rangsang kejahatan lain yang merupakan efek ikutan semisal penipuan.
Itu semua memang hanya akan terjadi pada anak-anak yang “sudah cukup umur”, semisal SD kelas 4 atau SLTP. Bukan balita. Tetapi tidak sedikit anak-anak balita yang dibiarkan asyik dengan gadget sehingga mengalami social autism (autism sosial), yakni anak sebenarnya tidak autis, tetapi mereka seperti anak autis karena tidak memperoleh cukup rangsang sosial dari orangtua. Mereka tenggelam dalam gadget.

Apakah gadget buruk bagi anak? Tidak, jika diberikan pada saat yang tepat dalam keadaan mereka memiliki kesiapan. Ibarat pisau bagi ibu-ibu, kehadirannya sangat penting untuk melakukan beragam kebaikan. Manfaat pisau sangat banyak. Tetapi bukan berarti anak-anak balita telah kita berikan pisau terbaik dari Jepang untuk mainan mereka. Begitu pun gadget semacam smartphone sangat besar manfaatnya, tetapi anak-anak harus memiliki landasan yang memadai sebelum menggunakannya sehari-hari. Selain berkait dengan orientasi hidup, bekal berupa budaya membaca juga sangat besar peranannya.
Setiap yang baik dapat disalahgunakan untuk keburukan, baik yang sangat tampak secara zahir maupun tersembunyi. Itu sebabnya mendidik niat sangat penting, termasuk kepada anak. Ini berarti, jika yang nyata-nyata baik saja dapat disalahgunakan, apalagi yang netral. Perlu bekal agar anak-anak dapat mempergunakan teknologi yang netral tersebut untuk kebaikan. Bukan sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar