Tuesday, July 13, 2010 5:34 PM
Pandangan Masyarakat Terhadap Sanggar Kegiatan Belajar (SKB)
Pada suatu sore, pada saat saya sedang lembur kerja di kantor SKB Salatiga, guna penyiapan proposal kegiatan yang sudah disetujui pimpinan u/tahun anggaran 2010-2011, datang seorang Ibu separuh baya. Maksud kedatangan beliau ke tempat kerja saya adalah mencari informasi mengenai seluk beluk Sanggar Kegiatan Belajar. Dalam hati saya terkejut. Betapa tidak demikian. SKB Salatiga yang sudah berdiri lama di kota ini, ternyata masih terasa asing dalam benak pikiran warga kotanya. Apalagi Ibu sepatuh baya tadi mengaku sebagai tenaga pendidik (guru) di salah satu SMP swasta favorit di kota ini. Seorang guru yang asli warga kota ini, lahir dan dibesarkan di kota ini, ternyata memiliki pandangan yang sangat jauh dari pandangan para petinggi di Departemen Pendidikan negeri ini.
Dalam pandangan Ibu itu, SKB adalah semacam kursus ketrampilan yang mengasah salah satu atau lebih bakat dan minat individu warga belajar yang menginginkan mempelajari dan mengembangkan bakat dan minatnya lebih mendalam. Tidak salah memang bila hal ini tertanam kuat di kebanyakan warga masyarakat negeri ini. Karena selama ini, sebagai salah satu Pendidikan Non Formal (baca: Pendidikan Luar Sekolah), SKB/Sanggar Kegiatan Sekolah dapat disejajarkan dengan berbagai Kursus Ketrampilan yang tumbuh subur di negeri ini. Sementara mekanisme proses pembelajaran, sistem pengajaran, aspek kurikulum, akseptabilitas lulusannya untuk dapat meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, baik ke Pendidikan Formal maupun Non Formal, ataupun kemudahan dalam hal biaya SPP dll. ternyata masih mengalami distorsi yang sangat beragam.
Kualitas lulusan SKB dianggap masih kurang dapat bersaing dengan lulusan Pendidikan Formal baik di Tingkat SLTP maupun SMU/SMK. Sebagai sekolah "buangan" bagi para siswa yang dikeluarkan dengan berbagai kasus di sekolah asal, seperti merokok, berkelahi antar siswa bahkan berkelahi dengan guru, dll. Sehingga dapat dipastikan bagaimana hasil output lulusannya, demikian kira-kira pemikiran yang berkecamuk di dalam hati para orang tua siswa, guru sekolah Pendidikan Formal, maupun masyarakat luas. Mereka pada umumnya tidak mengetahui, bagaimana para Pamong Belajar SKB (penyebutan untuk istilah guru di Pendidikan Non Formal), tetap harus memenuhi kualifikasi sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya. Justru barangkali saja, kualitas para Pamong Belajar SKB, mungkin sedikit di atas rata-rata guru di Sekolah Formal. Mengapa demikian? Karena dengan beratnya tugas mengampu mata pelajaran yang siswa mereka rata-rata "bermasalah" justru kompetensi mengajar mereka akan diuji secara terus menerus, dari waktu ke waktu ke waktu, untuk dapat memberikan pengarahan di samping juga proses pembelajaran sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya, kepada warga belajar (sebutan khusus bagi siswa/peserta didik di Pendidikan Non Formal) mereka. Ditambah lagi dengan latar belakang para Pamong Belajar tersebut yang memang sesuai dan ahli di bidangnya. Pamong Belajar yang mengajar mapel matematika, biologi, fisika, sosiologi, geografi, sejarah PPKN, ketrampilan, dll. adalah merupakan alumni LPTK pada masing-masing mapel tersebut tadi. Sangat jarang dijumpai, seorang Pamong Belajar, mengajarkan suatu mapel tertentu yang tidak sesuai dengan disiplin ilmunya. Hal mana yang sering bahkan banyak dijumpai di sistem Pendidikan Formal pada umumnya, khususnya di daerah-daerah yang memiliki akses informasi terbatas.
Ibu itu melanjutkan pertanyaannya, "Lalu bagaimana dengan kualitas lulusan SKB, Bu..?" Saya menerangkan, bahwa kualitas lulusan SKB yang mengikuti Program Paket B, memiliki kesempatan yang sama/setara, dengan lulusan SMU pada umumnya. Karena SKB mempunyai mekanisme dan kurikulum yang juga memiliki standar nasional, artinya disusun oleh Direktorat Pendidikan Luar Sekolah yang menginduk juga pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sebagaimana Pendidikan Formal, sehingga sudah barang tentu kelulusannya termasuk ijazah-nya juga diakui setara oleh PT/PTS se-Indonesia. Saya memberikan contoh, ada siswa SMU Swasta terkenal di Jogja yang ujian sekolahnya lulusa, tapi pada saat mengikuti UAN pada tahun yang sama, siswa tersebut dinyatakan tidak lulus. Singkat cerita, siswa tersebut mengikuti Ujian Kesetaraan Paket B (Setara SMU) di salah satu SKB di DIY, kemudian ternyata lulus. Ijazah kelulusannya diakui sama dan setara oleh salah satu PTN favorit di DIY dan siswa tersebut berhasil diterima di Jurusan Informatika. "Wow.." begitu komentar Ibu tersebut. "Amazing.." lanjutnya. Terkejut juga saya menyaksikan bagaimana tanggapan beliau setelah mendengarkan cerita saya. Mengapa? Saya tidak mengira sampai sejauh ini, ketidaktahuan beliau, yang note bene termasuk guru/tenaga pendidikan di salah satu SLTP favorit di kota ini. Pada hal saya sebelumnya sudah memprediksi, bahwa informasi yang saya sampaikan tadi paling tidak sudah dimiliki oleh beliau. Karena beliau sudah memiliki jam terbang yang tinggi di bidangnya.
"Ada lagi satu keunggulan SKB yang tidak dimiliki oleh Sekolah-Sekolah di Sistem Pendidikan Formal pada umumnya". "Apa itu, Bu"? "Yaitu keterjangkauan biaya pendidikan yang sangat-sangat murah. Di SKB ini, biaya pendidikan Program Paket C (setara SLTP) hanya 15rb, yaitu untuk biaya pendaftaran saja. Sementara SPP tiap bulannya adalah gratis tis". "Lho? Dari mana pembiayaan proses belajar dan mengajarnya Bu"? "Dari dana block grand tahunan yang disetujui oleh Direktorat PLS Bu.." "Wow", beliau merasa sangat takjub mendengar penjelasan saya. "Dana tersebut memang ditujukan bagi siswa yang berlatar ekonomi tidak mampu, dengan menunjukkan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) yang dikeluarkan oleh Kelurahan di mana orang tua siswa tersebut berdomisili. Bahkan ada orang tua yang mampu secara ekonomi tetapi terpaksa meminta SKTM dari Kelurahannya, karena anaknya tidak diterima di sekolah manapun di kota ini, sehingga terpaksa bersekolah di SKB ini Bu.." "Sementara untuk Program Paket B (setara SMU), di samping 15rb biaya pendaftarannya, tetap dikenakan biaya SPP sebesar hanya 15rb saja tiap bulannya. Sangat terjangkau bukan Bu..?!" "Astaga, sedemikian murahnya ya Bu.. Di sekolah tempat saya mengajar, biaya tersebut menjadi berlipat 10-15 kalinya Bu.." "Padahal, lanjut Ibu itu lagi, kualitas ilmu yang diterima warga belajarnya tidak kalah dengan siswa SLTP/SMU ya Bu.." "Benar Bu, lalu, apakah Ibu berminat memasukkan putranya tahun ini? Batas waktu pendaftaranya sampai tanggal 16 Juli Bu.. yaitu tanggal di mana diadakan wawancara terhadap wali/orang tua dari siswa/warga belajar ybs." "Untuk apa Bu?" "Untuk mengetahui seberapa jauh kemauan belajar si anak dalam mengikuti dan mentaati proses pembelajaran di SKB ini. Karena, di SKB ini juga ada standar kelulusan yang harus dipenuhi oleh siswa/warga belajar agar dapat lulus/naik kelas. Tahun lalu saja, di SKB ini ada 3 (tiga) orang siswa yang tidak naik kelas, dan seorang siswa yang tidak lulus, karena hanya mengikuti satu kali ujian saja, selanjutnya tidak mengikuti mata ujian lainnya tanpa izin".
Apakah tetap berminat melanjutkan sekolah di SKB ini atau ke sekolah swasta???
Need deep...deep...deep...contemplation
Silahkan dipertimbangkan!!!