Alat Peraga Edukatif

ALAT PERAGA EDUKATIF: Adalah istilah populer di dunia Pendidikan umumnya, dan khususnya Pendidikan Anak Usia Dini. Sebagai salah satu jenis permainan yg tidak saja mengedepankan sisi edukatif (proses pembelajaran) tetapi juga unsur hiburan bagi anak-anak yg memainkannya. APE juga bermanfaat untuk berbagai macam jenis therapy bagi banyak kalangan, mulai dari anak-anak usia balita, remaja, dewasa, hingga lansia, seperti okupasi therapy, brain gyms, dll. Sayangnya, istilah APE saat ini dipahami hanya sebatas APE u/PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Sehingga eksistensi APE bagi siswa SD, SLTP, SMU, Mahasiswa, dst. seolah-olah dinafikan sama sekali keberadaannya. Selain itu, APE seringkali digambarkan sebatas permainan berupa puzzle atau mainan bongkar pasang saja. Sehingga APE lain seperti tower hanoi, balok bangun, globe, rangka/anatomi tubuh manusia, origami, lego, dll. seolah-olah identik dengan puzzle. Benarkah demikian? Mari kita cermati bersama keberadaan APE di tengah-tengah sistem pendidikan yang ada di negeri ini.

Senin, 18 Oktober 2010

Fungsi Bimbingan Konseling (BK) di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB)


 Fungsi Bimbingan Konseling (BK) di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB)

Sebagaimana dalam sistem Pendidikan Formal, maka SKB yang merupakan salah satu Pendidikan Non Formal tentu memiliki unit BK dalam proses pembelajarannya. Hanya saja kebaradaan BK di SKB tidaklah terlalu mutlak ada sebagaimana di sekolah-sekolah formal. Mengapa demikian? Karena salah satu peran dan tugas wali kelas yang ditunjuk berasal dari para Pamong Belajar itu sendiri, adalah mengarahkan dan membimbing Warga Belajar-nya (sebutan bagi siswa/murid di SKB) yang "bermasalah". Masalah yang dialami oleh WB baik dari internal diri ybs maupun pada saat berinteraksi dengan WB lain dalam kelasnya ataupun juga timbul dari interaksi dengan Pamong Belajar/Tutor dalam proses belajar mengajar.

Masalah yang pertama, yaitu dari diri WB itu sendiri, meliputi aspek latar belakang sosial budaya yang melingkupinya, termasuk keharmonisan dalam keluarganya, pekerjaan orang tuanya, dll. yang kesemuanya bisa saja muncul dan menghambat proses belajar WB di SKB. Pada umumnya WB pada sisi ini memiliki ketergantungan sangat tinggi terhadap orang tua/walinya. WB merasa ikut memilki tanggung jawab dalam membantu pekerjaan orang tua/walinya. Bahkan tidak sedikit, WB dengan terpaksa atau kesadaran sendiri ikut membantu pekerjaan orang tua/walinya, yang akibatnya menomorduakan tugas belajarnya di SKB. Dari tahap wawancara, akan diketahui seberapa besar kemungkinan akan timbul dan munculnya keadaan ini nantinya pada saat proses pembelajaran mulai berlangsung. Para Pamong Belajar/Tutor yang bertugas menangani tahap wawancara, diharapkan mampu mengingatkan dan mengarahkan peran dan tugas masing-masing dalam keluarga, baik kepada orang tua/wali dan calon WB. Sehingga potensi konflik dalam keluarga akibat kemunculan perbedaan persepsi terhadap peran dan tugas masing-masing anggota keluarga, dapat dieliminir dan diupayakan solusi terbaiknya sejak dini. Di mana orang tua/wali dari WB, selayaknya menyadari bahwa tanggung jawab aspek ekonomi ataupun tugas-tugas kerumahtanggaan di rumah, bukan merupakan tugas dan peran utama bagi WB. Sementara WB tentu harus menyadari bahwa tugas dan peran utamanya adalah belajar mengeksplorasi dirinya semaksimal mungkin baik dalam proses pembelajaran tatap muka di kelas, melaksanakan tugas mandiri yang diberikan Pamong Belajar sebaik mungkin, serta mengikuti seluruh program tutorial yang sudah digariskan dalam KTSP terhadap dirinya selama satu tahun (dua semester) penuh. Meskipun demikian, bukan halangan bagi dirinya untuk membantu pekerjaan orang tua/walinya dalam melakukan segala jenis pekerjaan rumah tangga maupun membantu pekerjaan mencari nafkah (ekonomi). Demikian pula orang tua/wali dari WB, bahwa tugas dan peran utama WB adalah di SKB, yaitu dengan mengikuti seluruh proses pembelajaran semaksimal mungkin di SKB tanpa harus direcoki dengan berbagai pekerjaan kerumahtanggaan di rumah. Mereka juga memiliki tanggung jawab mengarahkan, membimbing, mengawasi ataupun mengingatkan WB dalam pelaksanaan tugas dan perannya dalam proses pembelajaran selama satu tahun pelajaran (dua semester) penuh, utamanya di rumah.

Masalah kedua yaitu kemungkinan munculnya potensi konflik antar sesama WB di kelas selama berinteraksi dalam proses pembelajaran selama satu tahun (dua semester) penuh. Hal ini disebabkan adanya perbedaan sosial budaya yang melingkupi masing-masing WB. Perbedaan latar belakang pendidikan maupun aspek ekonomi dari orang tua/wali dari WB, setidaknya dapat menjadi lahirnya potensi konflik perbenturan karakter, sikap, dan watak masing-masing WB di ruang kelas. Sehingga interaksi sosial antar WB dalam mendukung proses pembelajaran menjadi sedikit terganggu bahkan menghambat keharmonisan hubungan antar WB di kelas maupun di luar kelas. Hal-hal inilah yang menjadi tanggung jawab para Pamong Belajar yang mengampu mata pelajaran tertentu, para penanggung jawab berbagai program tutorial yang diberikan, maupun wali kelas masing-masing WB, untuk mengingatkan, menasehati, mengarahkan, membimbing, mengeliminir, hingga menyelesaikan potensi konflik yang muncul antar sesama WB yang mungkin saja terjadi di dalam ataupun di luar kelas. Sehingga keharmonisan hubungan antar sesama WB di dalam ataupun di luar kelas tetap dapat terjalin baik dan akhirnya menjadi faktor terbesar yang mendukung proses pembelajaran di ruang kelas, seperti dalam penyelesaian tugas mandiri secara kelompok, maupun saling membantu secara positif hambatan-hambatan dalam belajar yang besar kemungkinan selalu saja akan ada di antara individu-individu WB tadi.

Masalah yang terakhir atau yang ketiga, yaitu kemungkinan munculnya potensi konflik antara individu WB dengan para Pamong Belajar/Tutor di SKB selama proses pembelajaran/tutorial satu tahun (dua semester) penuh. Mengapa hal ini dapat terjadi? Sebagai manusia biasa, masing-masing individu WB maupun Pamong Belajar/Tutor tentu memiliki kelemahan-kelemahan yang bersifat manusiawi sekali, seperti sedang tidak badan/sakit/tidak fit dalam memberikan materi pelajaran, sedang bete/puyeng/pusing akibat memikirkan masalah-masalah keluarga ataupun masalah-masalah yang bersifat pribadi lainnya. Hal-hal seperti inilah yang terkadang bahkan seringkali menjadi faktor penghambat dalam memberikan materi pembelajaran tatap muka di ruang kelas. Perbedaan karakter masing-masing individu tadi (WB dan Pamong Belajar/Tutor) dalam memahami permasalahan yang ada baik yang muncul dari rumah maupun yang timbul di ruang kelas, tentu sedikit banyak akan mempengaruhi proses belajar mengajar di ruang kelas. Di sinilah tugas dan peran Wali Kelas dalam menjernihkan duduk permasalahan yang seringkali terjadi antara WB dengan Pamong Belajar/Tutornya. Sehingga tidak sampai berlarut-larut dan menjadi "bom waktu" yang akan siap meledak sewaktu-waktu. Seperti kasus berikut ini yang terjadi di salah satu SKB di salah satu Kabupaten di Jawa Tengah. Ada WB sebut saja Melati, yang memiliki karakter sikap dan bahasa tubuh yang dianggap oleh salah satu Pamong Belajar/Tutor yang mengajar di kelasnya, bahwa Melati seringkali melotot kepadanya. Persepsi yang muncul dalam diri Pamong Belajar tesebut adalah seolah-olah Melati sengaja menantang dirinya, tidak menghormati peran dan fungsinya sebagai Pamong Belajar/Tutor, ada kemungkinan Melati sengaja menentang dirinya manakala ada tugas-tugas yang akandiberikan, dll. Persepsi yang sepihak inilah yang dikeluhkan oleh Melati, sehingga dia secara khusus seringkali curhat kepada salah satu Pamong Belajar lain yang dianggapnya lebih bisa memahami karakter dirinya. Tetapi yang terjadi kemudian adalah, Pamong Belajar/Tutor yang berkonflik dengan Melati tersebut, merasa bahwa Pamong Belajar yang menerima curhat dari Melati ikut campur tangan bahkan membela Melati secara sepihak pula. Dalam kasus ini, peran dan fungsi BK di SKB tersebut tidak berjalan dengan baik. Barangkali, karena Pamong Belajar yang ditunjuk oleh pimpinan SKB tidak kualified dalam hal keilmuan BK ataupun mungkin karena faktor latar belakang Pamong Belajar tersebut yang memang berasal dari Guru Sekolah Formal yang pindah jalur ke Pendidikan Non Formal. Di mana karakter dan sifat kedua jenis pendidikan ini secara garis besar memang berbeda. Yang satu berkonsep Pendidikan Formal di Sekolah, sementara yang lain berkonsep Pendidikan Non Formal di Luar Sekolah. Perbedaan mendasar inilah yang seringkali tanpa sadar dialami dan mewarnai sikap para Pamong Belajar/Tutor dalam proses belajar mengajar di ruang kelas. SKB sebagai salah satu sektor Pendidikan Non Formal dengan konsep Pendidikan Luar Sekolah dipahami sebagai hal yang sama dengan Pendidikan Formal dengan konsep Sekolah (SLTP, SMU, dll.). Pada hal tidak demikian. Ruh Pendidikan Luar Sekolah dengan tiga matranya yaitu Tatap Muka, Tutorial, dan Tugas Mandiri, adalah perbedaan yang mendasar dalam memahami karakter dan watak setiap Warga Belajar yang menjadi peserta belajar di masing-masing paket belajar baik (Paket B, Paket C hingga Paket A, kalau memang diselenggarakan.). Tetapi menurut penulis, hal ini masih bersifat manusiawi sekali. Agak sulit memang memahami kebiasaan-kebiasaan Pendidikan Luar Sekolah, bila Pamong Belajar/Tutor tersebut berlatar belakang Pendidikan Formal di Sekolah setingkat SLTP, SMU, atau lainnya. Sama sulitnya memahami suatu permasalahan antara individu mahasiswa dengan dosennya yang berlatar belakang S1 ataupun S2. Perbedaan tingkat pendidikan akan melahirkan sikap dan persepsi yang berbeda di samping wawasan, pengalaman, dan keluasan keilmuan yang dimiliki masing-masing individu tadi jelas akan melahirkan penafsiran dan persepsi berbeda dalam memahami setiap permasalahan. Sebagaimana perbedaan persepsi dalam menjalankan tugas, peran, dan fungsi antara unit Bimbingan Konseling yang ada dengan tugas, peran, dan fungsi Wali Kelas, yang juga memiliki dimensi "bimbingan konseling" terhadap WB yang "bermasalah" dalam lingkup tanggung jawabnya. Di ranah inilah, Pimpinan SKB yang bersangkutan harus arif dalam mensikapi duduk persoalan yang ada dan mengambil keputusan yang terbaik, apakah unit Bimbingan Konseling (BK) tetap dipertahankan ataukah justru dilebur masuk ke dalam tugas, peran, dan fungsi Wali Kelas, yang mana memang sudah memiliki dimensi "bimbingan konseling" sejak awal, terhadap Warga Belajar yang "bermasalah" atau memiliki masalah di kelasnya. Agar kesan masyarakat umumnya dan Warga Belajar khususnya terhadap unit Bimbingan Konseling yang saat ini seolah-olah stagnan atau tidak berjalan dengan baik di atas relnya, dapat dieliminir sekecill mungkin.

Kridorejo Salatiga, 20 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar