Alat Peraga Edukatif

ALAT PERAGA EDUKATIF: Adalah istilah populer di dunia Pendidikan umumnya, dan khususnya Pendidikan Anak Usia Dini. Sebagai salah satu jenis permainan yg tidak saja mengedepankan sisi edukatif (proses pembelajaran) tetapi juga unsur hiburan bagi anak-anak yg memainkannya. APE juga bermanfaat untuk berbagai macam jenis therapy bagi banyak kalangan, mulai dari anak-anak usia balita, remaja, dewasa, hingga lansia, seperti okupasi therapy, brain gyms, dll. Sayangnya, istilah APE saat ini dipahami hanya sebatas APE u/PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Sehingga eksistensi APE bagi siswa SD, SLTP, SMU, Mahasiswa, dst. seolah-olah dinafikan sama sekali keberadaannya. Selain itu, APE seringkali digambarkan sebatas permainan berupa puzzle atau mainan bongkar pasang saja. Sehingga APE lain seperti tower hanoi, balok bangun, globe, rangka/anatomi tubuh manusia, origami, lego, dll. seolah-olah identik dengan puzzle. Benarkah demikian? Mari kita cermati bersama keberadaan APE di tengah-tengah sistem pendidikan yang ada di negeri ini.

Jumat, 06 Maret 2015

TangRam (TAbuNGbeRgAMbar) : Juara II Lomba Menulis Buku Sendiri Kategori Umum Tingkat Jawa Tengah 2013



Prakata

Anak adalah anugerah Allah Swt. Tempat kita meneruskan cita-cita dan garis keturunan. Anak juga merupakan amanah, titipan harta yang paling berharga yang harus dijaga, dirawat dan dididik agar menjadi penyejuk hati.
Mendidik anak memang bukan perkara mudah. Orangtua seringkali terjebak dengan pola pendidikan tradisional yang mengedepankan teknik pembelajaran yang mengakomodasi anak-anak yang cenderung berada dalam kontinum otak kiri. Padahal perkembangan kebudayaan yang serba cepat, kecintaan akan hidangan cepat saji dan kepuasan instan, menjamurnya telepon seluler, jaringan komputer, sistem e-mail, selera akan kekerasan dan aksi petualangan, ketergesa-gesaan untuk langsung mencapai hasil akhir, melahirkan anak-anak yang dicap menderita ADD atau seolah-olah ADD. Anak-anak yang diberkahi karunia khusus yaitu “pembelajar visual yang cenderung menggunakan otak kanan”.
Penulis mengajak Anda menjadikan buku ini sebagai salah satu alternatif untuk menyelami dunia anak-anak yang dicap menderita ADD, gifted children yang dibekali dengan daya ingat luar biasa istimewa dan pemimpi dengan kepekaan intuisi yang yang hipersensitif. Kelemahan dalam gangguan konsentrasi yang sering dialami anak-anak penderita ADD dapat berubah menjadi kekuatan mereka dengan pemilihan media belajar dan alat peraga yang menonjolkan kemampuan visualnya. Agar tidak terlalu njelimet dan mudah diterapkan, penulis memaparkan banyak latihan praktis yang bisa digunakan saat Anda ingin melejitkan kemampuan anak-anak ADD yang cenderung menggunakan otak kanan ini dalam kemampuan membaca.  
Salah satu hadiah terbesar bagi anak adalah orangtua yang mau belajar soal anak. Jika orangtua bertambah ilmunya seiring mendampingi anak, akan jauh lebih mudah baginya dalam mendidik anak, terutama gifted children yang dicap menderita ADD, yang visual, yang cenderung menggunakan otak kanan.  Kita jadi tahu apa yang harus kita lakukan. Kita jadi tahu apa yang akan kita lakukan. Bukan sembarangan dan bukan asal-asalan karena perlakuan kita terhadap anak akan menjadi bekal hidupnya kelak dalam mengarungi kehidupan.
            Selamat belajar ….
Semangat belajar ….


Pendahuluan
Beberapa tahun yang lalu saya diberitahu bahwa seharusnya saya memeriksakan anak saya yang ketika itu berusia prasekolah, kalau-kalau ia menderita ADD (Attention Deficit Disorder) atau gangguan pemusatan perhatian.
Ihsan adalah sebongkah energi berusia enam tahun. Tidak pernah bisa diam dan suasana hatinya selalu berubah-ubah. Ia juga mengalami kesulitan menuntaskan segalanya. Perkara-perkara sepele mudah membuatnya lepas kendali, ia mudah tersinggung, dan meledakkan amarahya disusul dengan berjam-jam ngambek tak mau bicara. Ihsan tidak suka dipegang atau dirangkul. Saya ingat bagaimana saya berbaring tidak bisa tidur pada malam hari bertanya-tanya apakah saya telah gagal menjadi orangtua.
Namun terlepas dari itu semua saya melihat seorang anak yang diberkahi dengan banyak karunia. Ihsan memiliki perbendaharaan kata yang luar biasa, sangat ingin tahu, kritis, mudah menyusun lego maupun balok-balok menjadi bangun-bangun yang rumit, serta memiliki daya ingat yang betul-betul istimewa.
Diagnosis ADD terasa manis-manis pahit. Di satu sisi, sungguh lega rasanya mengetahui apa yang menyebabkan perilakunya yang mengkhawatirkan. Namun di sisi lain, mendengar diagnosis itu serasa langit runtuh seketika. Seperti banyak orangtua lainnya, saya sedih melihat kondisinya, sering menangis dan ngambek. Saya pun memutuskan untuk belajar sendiri tentang ADD, bahkan menjadi terobsesi dengannya.
Perjuangan itu membawa saya bergabung dalam komunitas parenting yang membuka wawasan dan merubah paradigma saya dalam pola pendidikan anak. Hingga saya bertemu dengan Ayah Eddy dalam Komunitas Indonesian Strong From Home yang menyarankan agar Ihsan ikut dalam program observasi. Sementara Ayah Eddy membicarakan tentang karakteristik murid-muridnya yang dicap ADD, saya menemukan dalam setiap ciri tersebut ia sedang menggambarkan tentang anak saya.
Ayah Eddy menjelaskan bahwa semua anak yang dicap ADD cenderung menggunakan  otak kanan dan memiliki gaya belajar visual. Anak-anak itu kreatif, bisa memecahkan soal-soal matematika yang sulit dalam kepala mereka, dan merupakan pembaca cepat yang baik. Mereka cenderung kurang berprestasi di sekolah karena para pendidik cenderung menggunakan otak kiri. Ayah Eddy mengatakan bahwa yang dibutuhkan anak-anak itu adalah metode pengajaran yang berbeda. Untuk pertama kalinya, saya mendengar sesuatu yang masuk akal tentang hal misterius yang disebut ADD itu.

Apa itu ADD?
Dalam literatur medis, gangguan pemusatan perhatian yang disebut Kelainan Kurang Perhatian atau Attention Deficit Disorder (ADD) merupakan suatu sindrom neurologis yang mempunyai tiga gejala utama : impulsivitas (kecenderungan menuruti dorongan hati), konsentrasinya mudah terganggu, dan hiperaktivitas atau energi yang berlebihan.
Jeffrey Freed, dalam bukunya Right-Brained Children in a Left-Brained world mengemukakan bahwa
Anak-anak penderita ADD itu:
hiperimpulsif (mudah sekali menuruti dorongan hati)
hipersensori (sangat peka indranya)
hipersensitif
hipervisual
mudah sekali terganggu konsentrasinya
dan kebanyakan,
hiperaktif.
Saya percaya bahwa mayoritas anak yang sekarang dicap ADD itu sebetulnya menderita apa yang oleh Hallowell dan Ratey diistilahkan sebagai seolah-olah ADD dalam bukunya Answer to Distractions. ADD bukanlah bawaan lahir namun kitalah yang menjadikan mereka demikian. Anak-anak ini merupakan produk dari kebudayaan kita yang serba cepat, visual, dan terlalu menstimulasi.
Bagaimanakah kita mengetahui perbedaan antara ADD yang sesungguhnya dengan yang seolah-olah ADD ? Karena hal ini bukanlah ilmu pengetahuan eksak, renungkanlah hal berikut :
·         tingkat keparahannya
Apakah perilaku si anak demikian ekstrem sehingga perilaku tersebut secara konsisten menghalangi kemampuannya untuk berprestasi di sekolah, menuntaskan tugas-tugas, dan membentuk ikatan normal dengan keluarga dan teman sebaya.
·         apakah perilakunya sama menonjolnya baik di dalam maupun di luar kelas
Apabila guru anak Anda menyarankan untuk dievaluasi kemungkinan menderita ADD, mungkin saja perilaku yang seperti ADD itu hanya teramati di ruang kelas. Mungkin saja anak Anda bertingkah karena merasa bosan atau cara mengajar yang keliru, bukan karena kelainan yang mendasar.

Ciri-ciri Anak Penderita ADD
 Jeffrey Freed, dalam bukunya Right-Brained Children in a Left-Brained world mengemukakan ciri-ciri anak yang dicap menderita ADD sebagai berikut.
Daya Ingat Yang Luar Biasa Kuat
Kita semua ingat teman sekolah yang tidak pernah belajar hingga malam hari menjelang ujian, lalu semalam suntuk belajar dan ia berhasil meraih nilai tertinggi di kelas. Kemungkinan besar ia memiliki gaya belajar visual,  yang cenderung menggunakan otak kanan sehingga mampu membaca bahannya dengan cepat bahkan juga mengingatnya dengan mudah dan akurat.
Perfeksionis
Anak-anak yang cenderung menggunakan otak kanan diciptakan dengan kecenderungan berkompetisi yang lebih dominan. Mereka memiliki hasrat yang mendorongnya untuk sukses, untuk menjadi mutlak yang terbaik dalam segala hal, bahkan mampu membuatnya hancur saat realita mengalahkan harapannya. Berkah karunia ini hanya mungkin ditempa, tanpa pernah sepenuhnya menghapus, dan juga sebaiknya tidak dihapuskan.
Perfeksionis itu belum tentu buruk, sebaliknya dapat menjadi aset berharga seandainya diarahkan dengan benar. Kuncinya adalah membiarkan ia mengatasi perasaan takut gagalnya dan belajar membangun rasa percaya dirinya di atas kesuksesan-kesuksesan yang telah dicapai.
Kurang Percaya Diri
Merendahkan diri sendiri sangatlah umum terjadi pada anak-anak yang cenderung menggunakan otak kanan, cerdas, dan kurang berprestasi di sekolah. Frustrasi dan rasa kurang percaya diri akan menjadi sangat berkurang ketika anak-anak ini merasa senang dengan dirinya sendiri dan prestasinya.
Pada saat anak merasa kurang percaya diri, tidak seorang pun boleh menjatuhkannya lebih dalam lagi. Namun hal ini dapat diminimalisir dengan berusaha sekuat tenaga mengabaikannya dan memberikan pujian yang tulus atas kelebihan-kelebihan si anak.
Kecenderungan Mengikuti
Dorongan Hati
Anak yang cenderung menuruti dorongan hati ini lebih mungkin memukul ketika marah, mengucapkan perkataan yang keliru tanpa berpikir, atau mengejar bola ke jalanan tanpa mempertimbangkan konsekuensinya.
Ia tidak memperhatikan nasihat untuk bersabar. Saat temannya mempunyai mainan yang ia inginkan, ia akan langsung saja merebutnya tanpa minta izin terlebih dahulu.
Keterampilan Motorik Yang Terlambat
Anak-anak penderita ADD terkenal kikuk. Mereka suka membentur segala benda, tersandung kaki mereka sendiri, dan menabrak pintu atau anak-anak lain. Tanda-tanda keterampilan motorik yang terlambat bisa jadi sudah nampak sejak balita. Anak-anak ini mungkin terlambat berjalan, bahkan tidak melewati fase merangkak. Mungkin mereka mengalami kesulitan berdiri atau melompat dengan satu kaki. Keterampilan motorik halus mereka terlambat bahkan sering dijumpai mereka mengalami kesulitan dalam menulis.
Kepekaan Intuisi
Anak-anak penderita ADD yang cenderung menggunakan otak kanan sangat intuitif dan sangat sulit menjaga rahasia darinya. Ia sangat peka terhadap suasana hati dan ekspresi Anda, membaca bahasa tubuh Anda, nada suara Anda, dan menatap mata Anda lebih  baik daripada kebanyakan orang. Ia langsung tahu begitu Anda masuk rumah, apakah hari Anda di tempat kerja berjalan baik atau buruk. Saat Anda senang, ia turut senang. Kalau Anda tegang, ia juga akan cenderung bertingkah dan memperlihatkan amarah.

Hubungan antara Kecenderungan
Menggunakan Otak Kanan dengan ADD
Anak-anak yang dicap menderita ADD itu cenderung menggunakan otak kanan, visual, dan acak dalam pemrosesannya. Dr. Rick Fowler, yang menderita ADD, dan istrinya, Jerilyn, menjelaskan hubungan antar ADD dengan kecenderungan menggunakan otak kanan dalam buku mereka, Honey, Are You Listening? How Attention Deficit Disorder Could Be Affecting Your Marriage. Kata mereka, “Kebanyakan, orang yang menderita ADD itu sangat cenderung menggunakan otak kanannya …” .
Itulah salah satu alasan mengapa individu penderita ADD sering berbenturan dengan mayoritas populasi. Dunia modern kita lebih cocok bagi individu yang cenderung menggunakan otak kiri. Mereka berada dalam zona nyaman dengan jadwal dan keteraturan. Mereka cocok dengan system pendidikan yang telah disempurnakan untuk mengakomodasi dan mendorong cara berpikir yang terjadi di belahan otak kiri.
Ada beragam tes yang digunakan para profesional untuk mengukur dominasi belahan otak (salah satunya adalah Hermann Brain Dominance Test), Jeffrey Freed dalam bukunya Right-Brained Children in a Left-Brained World memberikan kuis untuk memberikan gambaran yang jelas apakah anak Anda (usia lima tahun hingga tiga belas tahun) cenderung menggunakan otak kiri, otak kanan, atau seimbang:
1.       Apakah anak Anda luar biasa tidak bisa diam?
2.       Apakah anak Anda mengalami kesulitan dalam mewarnai atau menulis dengan tangan?
3.       Apakah anak Anda terlambat berjalan?
4.       Apakah anak Anda luar biasa peka terhadap kritik?
5.       Apakah anak Anda alergi atau asma?
6.       Apakah anak Anda pandai dalam membangun mainan, seperti Log, Lego, atau balok-balok bangun?
7.       Apakah anak Anda pandai dalam mengerjakan teka-teki dan menemukan jalan keluar dari labirin?
8.       Kalau anda membacakan sebuah buku bagi anak Anda dua tiga kali, apakah ia mampu mengisi kata-kata yang kosong dengan menghafal hamper sempurna?
9.       Apakah sangat penting bahwa anak Anda menyukai gurunya agar dapat berprestasi dalam mata pelajarannya?
10.   Apakah anak Anda mudah terganggu konsentrasinya, atau apakah ia banyak melamun?
11.   Apakah anak Anda tidak mampu secara konsisten menyelesaikan tugas-tugas?
12.   Apakah anak Anda cenderung bertindak dahulu baru berpikir?
13.   Apakah Anda harus menggunting merek pakaian anak Anda?
Apakah ia hanya mau mengenakan pakaian yang sangat halus dan sudah lama?
14.   Apakah anak Anda cenderung tidak mau dirangkul?
15.   Apakah anak Anda cenderung tidak terkendali di pertandingan olahraga, di pesta yang hingar bingar, atau di taman hiburan?
16.   Apakah anak Anda perlu terus diingatkan untuk mengerjakan hal tertentu?
17.   Apakah anak Anda sangat kompetitif dan tidak mau kalah?
18.   Apakah anak Anda memiliki rasa humor yang baik? Apakah ia mempunyai kemampuan di atas rata-rata untuk memahami atau menciptakan guyonan?
19.   Apakah anak Anda perfeksionis, sedemikian rupa sampai-sampai ia terhalang dari mencoba hal-hal baru?
20.   Bisakah anak Anda mengingat liburan atau acara lain satu dua tahun yang lalu dengan detail yang sangat rinci?

Semakin banyak jawaban ya, semakin ke kananlah anak Anda dalam kontinum otak kiri-kanan.
Semakin ke kanan seorang individu berada di kontinum otak kiri-kanan ini, semakin intuitif dan acak dia dalam pemrosesan, dan ia semakin cenderung menyimpan informasi terutama dalam bentuk gambar. Ketika diminta mengingat suatu kejadian atau seseorang, individu yang cenderung menggunakan otak kanannya akan langsung membayangkan suatu gambar, mengingat detail sekecil apapun.
Individu yang cenderung menggunakan otak kanan itu adalah pembelajar yang menyeluruh, dari keseluruhan ke bagian-bagiannya. Mereka lebih mudah menguasai keterampilan dengan melihatnya didemonstrasikan daripada dijelaskan langkah-langkahnya. Sementara mereka lebih suka mengeja secara visual, mereka masih dapat mengakses belahan otak kirinya untuk belajar menyuarakan suku-suku katanya.


Membaca
Ihsan, usia 6 tahun, kesulitan membaca. Tampaknya ia tidak mampu memahami semua simbol-simbol aneh pada halaman buku. Ia pasti menganggap dirinya bodoh karena melihat ke sekeliling ruang kelasnya dan melihat anak-anak lain membaca dengan suara keras. Untuk melindungi dirinya dari kekecawaan mencoba tetapi gagal, ia sering melihat ke sekeliling ruangan, dan mencari-cari pengalih perhatian.
Sebagai produk didikan pola otak kiri yang diajarkan orangtua saya, Ihsan diharuskan duduk manis di meja untuk belajar membaca mulai dari mengeja b dan a dibaca ba. Selama 5 menit pertama saya sudah harus mengingatkannya untuk duduk diam dan memperhatikan materi ajar sebanyak 20 kali. Frustasi dengan tingkahnya yang selalu berpindah secara aktif, memperhatikan lingkungan sekitar atau sibuk memainkan jemarinya, sesi pembelajaran dihentikan tanpa hasil. Pola yang sama diulang lagi hingga 3 hari tanpa dampak yang berarti.

Mengeja
Apa yang salah? Sesuai saran Jeffrey Freed dalam bukunya Right-Brained Children in a Left-Brained World, pemilihan mengeja sebagai topik pertama saat bekerja sama dengan seorang anak yang cenderung menggunakan otak kanan sudah tepat. Namun perlu perbaikan metode yang dapat membangun keyakinannya dan menjadikan belajar itu menggembirakan, serta mengaktifkan karunianya berupa daya ingat visual yang luar biasa istimewa.
Perlu diperhatikan oleh orang tua dan pendidik bahwa dalam mengajarkan mengeja kepada anak yang cenderung menggunakan otak kanan  atau menderita ADD, lupakanlah segala “aturan” yang pernah kita pelajari di sekolah. Sebab system pendidikan kita dahulunya dirancang bagi anak-anak yang cenderung menggunakan otak kiri, seorang pembelajar dengan gaya belajar auditory (lewat pendengaran).
Anak-anak penderita ADD dan anak-anak yang cenderung menggunakan otak kanan itu “spasial” dalam memproses, yang menjadikan mereka cenderung terbalik dalam mengeja huruf. Karena cara berpikir yang visual dan spasial (ruang), kemungkinan ia menulis namanya dalam sebuah lingkaran atau bujur sangkar bahkan seringkali dijumpai mereka menulis namanya dalam bentuk pantulan cermin. Hal ini merupakan asset bagi para artis dan arsitek namun bisa menjadi mimpi buruk bagi anak-anak yang berusaha menangkap kata-kata dan menuangkannya kembali dalam bentuk tulisan dengan cara dari kiri ke kanan pada halaman yang tidak hidup.


Mainan Hendaklah Menarik Disentuh
dan Indah Dipandang
Sidney Zentall, seorang profesor pendidikan khusus di Purdue University telah menemukan bahwa warna dapat menangkap perhatian anak-anak yang dicap menderita ADD dan meningkatkan keterampilan mereka dalam menangani tulisan. Ia juga menemukan bahwa ketika anak-anak penderita ADD melihat huruf-hurufnya di layar, mereka akan lebih mungkin memperhatikan kalau huruf-hurufnya berwarna.
Sekolah pada umumnya mengutamakan pendekatan otak kiri pada proses pembelajaran dengan mengeja dalam hitam putih, biasanya menggunakan kapur putih pada papan tulis hitam. Jadi, untuk anak-anak yang cenderung menggunakan otak kanan, diperlukan peran orangtua dan pendidik yang lebih inovatif dalam menyediakan mainan, media atau alat peraga yang colourfull (berwarna).
Secara khusus setiap toko mainan menyediakan mainan, media dan alat peraga edukasi yang sensasional, warna-warni dengan cat warna primer, buku dongeng, cerita bergambar, mainan dengan tuts alphabet seperti mesin ketik, mainan instruktif dan dekoratif, dan sebagainya. Namun tidak dapat disangkal bahwa anak-anak itu akan memainkannya sesaat saja, setelah bosan kita tidak pernah melihatnya lagi.
Pada sisi lain, sekolah pendidikan Montessori telah menciptakan mainan-mainan berupa objek kasat dan lembut yang dapat dirasakan, dilemparkan, dan objek-objek yang dapat diatur satu sama lain. Selain itu berhubungan  dengan aktivitas keseharian anak. Hal ini perlu dilakukan agar anak tertarik dan merespons terutama dengan apa yang memberikannya “kegembiraan yang mencerdaskan” serta kepuasan dan mengembangkan hasrat anak untuk mencipta.
Dengan demikian, sebuah mainan, media atau alat peraga harus lebih dari sekedar menyenangkan untuk dilihat, dan lebih dari sekedar dapat bergerak. Namun mampu menstimulasi anak untuk mengkonstruksi dan menciptakan hal baru yang mendukung perkembangan otak. Hal yang tak kalah pentingnya untuk diperhatikan adalah mainan, media atau alat peraga tersebut disesuaikan dengan kemampuan dan usia anak.

Tabung bergambar “tangram”
Terinspirasi dari kedua pendapat di atas, saya pun me-reused botol plastik kemasan bekas dan kardus kemasan bekas menjadi mainan mengeja bagi Ihsan.   
Untuk efek tampilan warna yang menarik digunakan kain felt, dan jadilah “Tangram”.
          
Aspek terpenting yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan dan pemanfaatan kardus bekas dan botol plastik bekas kemasan minuman adalah aspek keamanan dan dan kebersihan. Aman dalam arti kardus tersebut terhandar dari hal-hal yang membahayakan pada saat digunakan, misalnya tidak terdapat sisa bahan-bahan kimia dan unsur logam. Sedangkan aspek kebersihan mengandung maksud bahwa barang bekas yang digunakan terhindar dari efek terganggunya kesehatan anak, misalnya bersih dari kotoran, tidak basah/lembab dan tidak berbau.
Keuntungan dari penggunaan bahan-bahan bekas selain mudah didapat dari lingkungan sekitar dan murah, adalah menanamkan konsep daur ulang dan cinta lingkungan pada anak serta melatih anak untuk hidup sederhana dan kreatif. Dengan kegiatan  pemanfaatan barang bekas yang dikreasikan menjadi produk media pembelajaran dipandang telah memiliki peran dalam penyelamatan lingkungan. Sehingga pada proses pembelajaran terdapat suatu upaya menanamkan kesadaran dan tanggung jawab untuk melakukan tindakan menjaga dan melestarikan lingkungan agar tercipta lingkungan bersih, sehat, dan nyaman dengan membudayakan perilaku hidup sehat dalam aktivitas keseharian.
Pemanfaatan “Tangram” dalam permainan mengeja diharapkan mampu meningkatkan daya tarik pada anak-anak penderita ADD yang merupakan pembelajar visual dan spasial dengan penggunaan warna yang mencolok dan tegas pada kain felt. Ketertarikan visual dengan penggunaan beragam warna dapat  mendorong antusiasme anak dalam berperan aktif selama proses pembelajaran melalui permainan mengeja. Anak juga lebih mampu berinteraksi antar individu maupun antar kelompok. Sehingga ketertarikan dan interaksi tersebut membuat mereka terbawa dalam suasana permainan. Situasi bermain pun menjadi menyenangkan dengan pemberian rangsangan yang tepat.
Media pembelajaran “Tangram” dalam latihan mengeja bagi anak-anak penderita ADD digunakan untuk mengembangkan kemampuan motoriknya. Selain itu media pembelajaran “Tangram” juga dapat mengoptimalkan daya visualnya yang kuat sehingga ia mampu mengasosiasikan suku kata dengan objek benda dalam ragam permainan mengeja berikut ini.

Permainan Mengeja
Marilah kita memulai pelajaran mengeja kita yang pertama dengan menggunakan “Tangram”. Peganglah satu suku kata “Tangram” dan perlihatkan setidaknya 30 cm dari anak Anda. Mintalah ia melihatnya hingga ia dapat membayangkannya. Mungkin ia hanya melihat hurufnya atau melihat gambar visual yang mewakili suku kata tersebut. Keduanya akan membantu kemampuannya untuk mengeja. Penting sekali Anda bersabar dalam langkah ini. Saya sendiri menuntut setidaknya dua puluh detik untuk memprosesnya.
Begitu anak Anda mampu memvisualkan suku kata tersebut dalam benaknya, balikkan tangram. Mintalah anak Anda menyebutkan suku kata tersebut dengan suara keras. Tahapan ini dimulai dengan mengeja lisan karena saat menulis, anak Anda melihat ke bawah, yang tidak optimal untuk melacak gambar-gambar visual.
Begitu Anda berhasil menarik perhatian anak Anda, maka langkah selanjutnya untuk mengenalkan suku kata lain akan semakin mudah. Cobalah memasukkan variasi permainan dengan menyebut “suku kata … ada di dalam kata…” . Lakukanlah pengulangan untuk menguatkan memori anak Anda dengan bekerja sama dalam suasana yang santai, nyaman, dalam lingkungan yang minim gangguan. Mungkin tiga sampai empat suku kata setiap harinya selama satu minggu.
Latihan-latihan berikut bermanfaat dalam mengajarkan mengeja bagi anak-anak yang cenderung menggunakan otak kanan, cenderung visual dan cenderung kinestetik:

  1. Gunakan “Tangram” seperti dalam permainan bowling, minta anak Anda menyusun kata dari “Tangram”  yang jatuh.
  2.  Bermainlah “Lempar Tangkap Tangram”, Anda dapat bertindak sebagai keranjang dan minta anak Anda melempar “Tangram” masuk ke keranjang. Minta ia menyebutkan suku kata atau kata yang dapat dibentuk dari “Tangram” yang masuk dengan sukses ke dalam keranjang.
  3.  Mintalah anak Anda memilih beberapa kata dari buku cerita kegemarannya. Suruhlah ia menggarisbawahi kata-kata tersebut, mempelajarinya, dan mengejanya.
  4. Buatlah “Pohon Ejaan” dengan menyediakan sebuah ranting kecil di dalam pot bunga. Setiap kali anak Anda diberikan suku kata baru, buatlah lingkaran, daun,  atau bunga, tuliskanlah sebuah kata dan ikatlah ke “pohon” tersebut Anda dapat memanfaatkan pohon tersebut sebagai dekorasi di kamar anak Anda.
  5.  Bantulah anak Anda melejitkan kemampuannya untuk memvisualisasikan tiap suku kata dengan latihan yang mudah. Mintalah ia menuliskan setiap suku kata pada selembar kertas. Mainlah tebak-tebakan “suku kata … ada di dalam kata …”. Suruhlah dia menggambar kotak di sekeliling kata tersebut. Kemudian suruhlah dia mempelajari bentuk kotaknya selain huruf-huruf di dalamnya.
  6.  Suruhlah anak Anda mengetik suku kata atau kata yang telah dikuasainya dengan komputer. Pastikan setiap katanya dieja dengan benar, lalu cetaklah. Selain mengajarkan mengeja, latihan ini juga membantu mengajarkan dan menguatkan keterampilan motoriknya.
  7.  Bermainlah tic-tac-toe dengan anak Anda. Gunakan spidol dengan warna berbeda. Bukannya menuliskan X dan O namun masing-masing mengeja kata yang berbeda dalam masing-masing kotaknya.

Kepustakaan

Aamodt, Sandra dan Sam Wang. Welcome to Your Child’s Brain. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta 2013
Armstrong, Thomas. Setiap Anak Cerdas. Gramedia Pustaka: Jakarta. 2005
Armstrong, Thomas. You’re Smarter Than You Think. Karisma: Jakarta.
Armstrong, Thomas. Awakening Your Child’s Natural Genius. Karisma: Jakarta.
Bukhari, Ihsan Baihaqi Ibnu. Sudahkah Aku Jadi Orangtua Shaleh?. Khazanah Intelektual: Bandung. 2010
Edy, Ayah. Mendidik Anak Zaman Sekarang Ternyata Mudah Lho (Asalkan Tahu Caranya). Tangga Pustaka: Jakarta. 2008
Einon, Dorothy. Permainan Cerdas Untuk Anak. Erlangga: Jakarta. 2005
Fowler, Rick, and Jerilyn Fowler. Honey, Are You Listening? How Attention Deficit Disorder Could Be Affecting Your Marriage. Nashville: Thomas Nelson, 1995
Freed, Jeffrey. Right-Brained Children in a Left-Brained World. Karisma: Jakarta. 
Genioafam. Mengasuh dan Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus. Gora Ilmu: Yogyakarta. 2009
Gryphone House. Permainan Kreatif untuk Prasekolah. Erlangga: Jakarta. 2010
Ibuka, Masaru, Membuka Lorong Dunia Anak : Buku Pintar Mendidik Anak Usia Dini. Annora Media: Yogyakarta, 2009
Melly, Kiong. Cara Kreatif Mendidik Anak. Progressio: Jakarta. 2010
Oberlander, June R.. Slow and Steady Get Me Ready. PT. Primamedia Pustaka: Jakarta. 2005
Setiono, Widianto dan Ayah Ady. Apakah Anda Ingin Menemukan Potensi Unggul Anak Anda Sejak Dini?. PT. Grasindo: Jakarta. 200

Tidak ada komentar:

Posting Komentar