Alat Peraga Edukatif

ALAT PERAGA EDUKATIF: Adalah istilah populer di dunia Pendidikan umumnya, dan khususnya Pendidikan Anak Usia Dini. Sebagai salah satu jenis permainan yg tidak saja mengedepankan sisi edukatif (proses pembelajaran) tetapi juga unsur hiburan bagi anak-anak yg memainkannya. APE juga bermanfaat untuk berbagai macam jenis therapy bagi banyak kalangan, mulai dari anak-anak usia balita, remaja, dewasa, hingga lansia, seperti okupasi therapy, brain gyms, dll. Sayangnya, istilah APE saat ini dipahami hanya sebatas APE u/PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Sehingga eksistensi APE bagi siswa SD, SLTP, SMU, Mahasiswa, dst. seolah-olah dinafikan sama sekali keberadaannya. Selain itu, APE seringkali digambarkan sebatas permainan berupa puzzle atau mainan bongkar pasang saja. Sehingga APE lain seperti tower hanoi, balok bangun, globe, rangka/anatomi tubuh manusia, origami, lego, dll. seolah-olah identik dengan puzzle. Benarkah demikian? Mari kita cermati bersama keberadaan APE di tengah-tengah sistem pendidikan yang ada di negeri ini.

Kamis, 30 April 2015

Manajemen Rumah Tangga



Ibu, manager keluarga handal

Narasumber : Bu Septi Peni Wulandani

Motivasi Bekerja Ibu
Ibu rumah tangga adalah sebutan yang biasa kita dengar untuk ibu yang bekerja di ranah domestik. Sedangkan ibu bekerja adalah sebutan untuk ibu yang bekerja di ranah publik.
Maka melihat definisi di atas, sejatinya semua ibu adalah ibu bekerja, yang wajib professional menjalankan aktivitas di kedua ranah tersebut, baik domestik maupun publik.
Apapun ranah bekerja yang ibu pilih, memerlukan satu syarat yang sama, yaitu kita harus "SELESAI" dengan management rumah tangga kita, kita harus merasakan rumah kita itu lebih nyaman dibandingkan aktivitas dimanapun. Sehingga anda yang memilih sebagai ibu rumah tangga, akan lebih professional mengerjakan pekerjaan di rumah bersama anak-anak. Anda yang Ibu bekerja, tidak akan menjadikan bekerja di publik itu sebagai pelarian ketidakmampuan kita di ranah domestik.
Mari kita tanyakan pada diri sendiri, apakah motivasi kita bekerja di rumah?
a. Apakah masih "ASAL KERJA", menggugurkan kewajiban saja?
b. Apakah didasari sebuah "KOMPETISI ", sehingga selalu ingin bersaing dengan keluarga lain?
c. Apakah karena "PANGGILAN HATI", sehingga anda merasa ini bagian dari peran anda    sebagai Khalifah?
Dasar motivasi tersebut akan sangat menentukan action kita dalam menangani urusan rumah tangga.
a. Kalau anda masih "ASAL KERJA" maka yang terjadi akan mengalami tingkat kejenuhan yang tinggi, anda menganggap pekerjaan ini sebagai beban, dan ingin segera lari dari kenyataan.
b. kalau anda didasari "KOMPETISI", maka yang terjadi anda stress, tidak suka melihat keluarga lain sukses
c. Kalau anda bekerja karena "PANGGILAN HATI" , maka yang terjadi anda sangat bergairah menjalankan tahap demi tahap pekerjaan yang ada. Setiap kali selesai satu tugas, akan mencari tugas berikutnya, tanpa MENGELUH.

Peran Ibu
Sebagai seorang manager keluarga, maka masukkan dulu di pikiran kita "Saya Manager Keluarga", kemudian bersikaplah, berpikirlah selayaknya seorang manager.
a.       Hargai diri anda sebagai manager keluarga, pakailah pakaian yang layak (rapi dan chic) saat menjalankan aktivitas anda sebagai manager keluarga. Kalau saya memakai istilah 7 to 7, dari jam 7 pagi - 7 malam, menggantung daster, memakai pakaian yang rapi, layak, nyaman.
b.      Rencanakan segala aktivitas yang akan anda kejakan baik di rumah maupun di ranah publik, patuhi
c.       Buatlah skala prioritas
d.      Bangun Komitmen dan konsistensi anda dalam menjalankannya.
Menangani kompleknya tantangan Ibu :
a.       Put First Things First
Letakkan sesuatu yang utama menjadi yang pertama. Kalau buat kita yang utama dan pertama tentulah anak dan suami. - Buatlah perencanaan sesuai skala prioritas anda hari ini- aktifkan fitur gadget anda sebagai organizer dan reminder kegiatan kita.
b.      One Bite At A Time
Lakukan setahap demi setahap-Lakukan sekarang-Pantang menunda dan menumpuk pekerjaan
c.       DELEGATING
Delegasikan tugas, yang bisa didelegasikan, entah itu ke anak-anak yang lebih besar atau ke asisten rumah tangga kita. Ingat anda adalah manager, bukan menyerahkan begitu saja tugas anda ke orang lain, tapi anda buat panduannya, anda latih, dan biarkan orang lain patuh pada aturan anda, terutama untuk urusan anak. Latih-percayakan-kerjakan-ditingkatkan-latihlagi-percayakan lagi-ditingkatkan lagi begitu seterusnya…

Perkembangan Peranan.
Tingkatkan diri anda dari seorang kasir keluarga menjadi Manager Keuangan Keluarga. Tingkatkan diri anda dari seorang koki keluarga menjadi Manager Gizi Keluarga
Tingkatkan diri anda dari seorang tukang antar jemput anak sekolah menjadi Manager Pendidikan Anak
Cari peran apalagi, tingkatkan lagi.....dst

#‎PERTANYAAN#
Q : Sering kali terjadi perencanaan jadwal liburan keluarga yang meleset karena suatu hal seperti karena tugas mendadak yang diberikan oleh kantor suami,,Namun, anak sering kali kecewa dan merasa tidak percaya pada orangtua walaupun sudah memberi solusi untuk mengganti waktunya. Apakah ada cara khusus untuk menjadwalkan rencana?
A : Yg pertama ceritakan dulu proses kerja orangtua yg bisa sewaktu2 diberi tugas. Agar mereka paham. Selanjutnya buat plan a - z, dr rencana terbaik sampai terburuk. Dan anak-anak sdh siap apapun yg terjadi. Kl tdk ada plan a-z pasti mereka kecewa krn pilihannya hanya pergi dan batal
Q : Dlm perkembangan peran ibu sbg manager rumah tangga,salah satunya meningkatkan diri dari pengantar jemput anak menjadi manager pendidikan anak,maksudnya bagaimana? Apakah disini perannya fifty fifty,antara sekolah dan ibu mengajar anak kembali dirumah atau ibu semua memberi pendidikan seperti homeschooling?
A : Banyak orangtua yang menyerahkan sepenuhnya pendidikan itu ke sekolah. Fungsi ortu hanya antar jemput dan tukang bayar sekolah anak. Hal ini membuat miris karena ortu merupakan penjaga amanah dan memiliki peran penting di pendidikan anak. Dalam mendidik anak itu juga ada menu pagi ( mulai dr bangun tidur- mau sekolah). Menu siang (selama di sekolah). Menu malam ( pulang sekolah - mau tidur). Perlu jadwal aktivitas bersama anak-anak sehingga lembaga sekolah dapat diajak berkolaborasi dengan pola pendidikan di rumah, maka ortu perlu mencari sekolah yg satu value.
Q : Bagaimana cara yang tepat untuk seorang ayah dalam membayar hutang waktu kebersamaan dg anak dikarenakan baru bisa bertemu setiap 10-15 hari tanpa harus mementahkan kembali kesepakatan yg sudah dibuat oleh ibu dan anak? Misal mengenai makanan yg boleh dikonsumsi atau waktu bermain dan menonton.
A : Libatkan pembicaraan antara Ibu, Ayah dan anak dg media gadget. Bisa buat grup whatsapp, bbm, line, atau skype tiap pekan. Kalau tidak memungkinkan, maka komunikasikanlah kesepakatan - kesepakatan yg sdh dibuat agar dipatuhi Ayah saat pulang. Dan ayahpun tidak "breaking the rules" karena hal ini akan dicontoh oleh anak
Q : Saya sudah mencoba mendelegasikan tugas ringan ke anak dari umur 14 - 4 th, apakah perlu  memberi bintang untuk semua anak atau hanya untuk usia 9 - 4 th saja?
A : Penerapan bintang sebaiknya semua terlibat dan semua dapat. Bahkan Ayah dan Ibu juga dapat bintang. Hal ini untuk menunjukkan ke anak, bahwa kita adalah teman belajar anak.
Q:  Sampai saat ini saya merupakan Ibu bekerja di ranah publik. Waktu kerja saya cukup fleksibel, tetapi jarak rumah ke tempat kerja sekitar 30 km. Saat ini saya berfikir untuk membawa anak saya yang umur 19bln untuk bekerja sebab selama ini dia bersama pengasuhnya. Apakah solusi itu cukup memungkinkan, atau saya harus resign saja.
A: Apabila di tempat kerja ada "day care" dan itu membuat anak nyaman, maka silakan dilanjut. Tetapi jika anak makin tidak nyaman perlu dipertimbangkan untuk resign
Q: Saya sadar pengetahuan agama minim, saya ingin anak mendapat pendidikan di pesantren agar lebih paham agama daripada kami berdua namun suami kurang setuju karena melihat lulusan ponpes yang ‘baik’ di dalam namun begitu keluar ponpes menjadi lebih "nakal". Bagaimana menurut ibu tentang hal tersebut?
A : Menurut pengalaman kami, sebaiknya anak dipesantrenkan itu setelah aqil baligh. Dengan syarat pola pendidikan yg mengedepankan fitrah iman, bakat, belajar dan perkembangannya tercukupi saat pre aqil baligh. Saat pre aqil baligh, anak akan besar dengan diri dan keluarganya. Setelah aqil baligh dia akan besar dengan diri dan lingkungannya.
Q : Bu, bagaimana menghadapi tuntutan keluarga mertua dan suami yang menuntut istri untuk bekerja dan memandang sebelah mata pekerjaan ibu rumah tangga?
A : Bicarakan dulu baik-baik dg mertua dan suami apa yg kita pahami selama ini. Kemudian berikan bukti bukan hanya janji. Berubahlah, dan sampai mereka berkata pilihan kita memang benar
Q: Bagaimana proses pendelegasian sedangkan anak pertama 4th, anak kedua 1th. Apakah sudah bisa diberi tanggung jawab & kepercayaan penuh? Karena saat bermiain kadang-kadamg masih suka berebut?
A: Anak berebut itu biasanya karena tidak adanya pembagian peran. Maka tugas kita adalah berbagi peran sesuai dg usianya. Anak 4 th sdh bisa merapikan mainan sendiri. Yg 1 th ajak untuk makan sendiri dulu.
Q: Apakah yang dimaksud dengan menggantung daster dari jam 7 pagi sampai jam 7 malam? Apakah memakai daster hanya cocok jika dikenakan ketika tidur saja? Karena pengalaman pribadi akan lebih nyaman ketika memasak dengan menggunakan daster.
A: Daster itu baju ternyaman sedunia. Saya dulu di awal jadi IRT memakai daster all day. Akhirnya saya menjalankannya ala kadarnya, seperti yg IRT lainnya lakukan. Saya tersadar ketika tetangga kanan kiri yang bekerja di ranah publik, cantik, rapi, harum ketika bekerja. Saya lihat diri saya, jelek, bau bawang, kumal. Saya berpikir, makanya IRT itu tidak membanggakan, krn saya sendiri yg memilih profesi ini juga tidak menunjukkan kebanggaan. Perubahan mulai terjadi saat, urusan masak, dapur, bersih-bersih saya lakukan sebelum jam 7 pagi dan setelah jam 7 malam, sesudahnya boleh pakai daster. Diantara jeda itu saya pakai baju rapi dan bermain dengan anak, belajar, nulis perencanaan, dll.

Membuat Anak Gila Membaca



Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Kapan kita mulai dapat mengajarkan membaca kepada anak? Para ahli menyebutkan, usia 2 tahun dalam bentuk pengenalan kegiatan pra-membaca. Tetapi Jim Trelease menunjukkan dalam bukunya yang bertajuk The Read Aloud Handbook bahwa mengenalkan membaca kepada anak dapat dimulai semenjak anak mulai mampu mengikuti gerakan kita dengan penglihatannya. Ini sekitar usia 4 bulan. Tetapi semuanya dimulai semenjak dini, jauh sebelum usia 2 tahun. Mengenalkan kegiatan pra-membaca itu sangat penting. Tapi itu saja tidak cukup. Sangat tidak cukup. Tumbuhnya minat baca yang kuat juga tidak cukup. Minat baca yang kuat tidak dengan sendirinya sama dengan minat belajar. Keduanya berbeda. Tetapi jika minat membaca terarah dengan baik, lebih mudah menumbuhkan minat belajar.

Apa yang Perlu Kita Ajarkan?
Yang paling mudah adalah mengajarkan keterampilan. Lihatlah HP dan smartphone, betapa mudahnya orang menggunakan keduanya. Tak peduli apa jenjang pendidikannya. Makin kompleks sebuah keterampilan, makin sulit menumbuhkannya. Tetapi tetap lebih mudah dibandingkan menumbuhkan minat dan kecintaan. Demikian pula membaca. Betapa banyak anak yang sudah terampil membaca sebelum masuk SD, tapi saat kelas 1 atau 4, minat bacanya ambruk dan gairah belajarnya runtuh. Hancur dan seakan tak pernah ada.
Orang yang berminat akan berusaha untuk menguasai, yang mau akan berusaha untuk mampu, tetapi yang mampu belum tentu mau. Bahkan besarnya kemampuan yang tidak disertai kemauan, justru menjadikan anak lebih mudah mengalami kejenuhan. Ia menjauhi, sehingga lebih sulit baginya mengembangkan kemampuan.

Maka, yang paling pokok untuk kita lakukan saat anak usia dini adalah mengakrabkan, menjadikan mereka suka dan menanamkan kepada mereka bahwa membaca itu sangat penting serta penuh manfaat. Kita tumbuhkan dorongan kepada mereka untuk senantiasa berusaha membaca dan memperoleh sumber bacaan yang bergizi. Inilah yang jauh lebih penting untuk kita tumbuhkan pada diri anak-anak kita di usia mereka yang sangat dini. Bukan sekedar kemampuan mengeja atau menunjukkan nama-nama benda dalam buku.
Gizi buku juga jauh lebih penting daripada bentuk buku. Kita kadang begitu asyik memilihkan buku yang bagus dan berbentuk lucu, tetapi lupa bahwa isi buku jauh lebih membekas pengaruhnya dibandingkan bentuk buku. Ingatlah, kita mengajari anak membaca bukanlah semata agar mereka terampil membaca. Ada yang lebih penting, yakni menjadikan membaca itu sebagai jalan mereka untuk meraup ilmu dan mengenal Allah subhanahu wa ta’ala. Bukankah Allah Ta’ala mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tidak mereka ketahui dengan perantara pena? Dan jalan untuk mengambilnya adalah membaca. Bukan sekedar membunyikan huruf. Karena itu, kita perlu sekali memperhatikan gizi buku yang kita pilihkan untuk anak-anak, terlebih di usia dini. Inilah masa untuk mengakrabkan mereka dengan tauhid di atas aqidah yang lurus ataukah menanamkan syubhat aqidah semenjak dini. Alangkah banyak buku yang lucu, tetapi isinya mengajarkan kelicikan, tipu daya dan kesyirikan.

Apa Media Pembelajaran yang Tepat?
Menurut berbagai literatur yang pernah saya pelajari, sarana terbaik untuk mengenalkan membaca kepada anak adalah buku-buku banyak gambar sedikit kata alias WPB (Wordless Picture Book). Ada yang dicetak dengan kertas tebal luks, ada yang menggunakan kain, ada pula yang menggunakan media lain. Berbeda-beda bentuknya, tapi ada satu hal yang mempersamakan, yakni harganya mahal.
Apakah ini tidak baik? Bahkan sangat baik, asalkan isinya bergizi. Sekali lagi, yang perlu diperhatikan adalah kandungan isi buku tersebut (semoga Allah Ta’ala ampuni kelalaian kami dalam memilihkan buku untuk anak-anak). Kami pun menggunakan media semacam itu untuk menumbuhkan minat baca anak-anak, terutama yang awal. Berikutnya, sebagian memanfaatkan sisa-sisa kakaknya, sebagian memanfaatkan apa saja yang dapat dibacakan kepada anak. Tak harus buku WPB. Yang paling pokok adalah gizi buku itu dapat dijamin, dapat dijaga. Buku bacaan untuk orang dewasa pun asalkan isinya penuh gizi, semisal 10 Sahabat Nabi Dijamin Masuk Surga, sangat baik untuk kita bacakan buat merangsang anak kita suka membaca. Mereka paham? Belum. Tetapi apa yang kita bacakan tersebut sangat bermanfaat bagi mereka tatkala semakin bertambah usia. Bacaan itu menjadi semacam cetak biru yang mempengaruhi diri anak di masa-masa berikutnya.

Hal penting yang perlu kita perhatikan adalah antusiasme kita sangat mengajarkannya kepada anak; membacakannya kepada mereka. Antusiasme orangtua dalam mengajarkan membaca jauh lebih penting daripada media yang dipergunakan. Antusiasme kita akan mudah merangsang anak tertarik membaca. Tetapi jika anak sudah sangat bersemangat, bekal berikutnya yang perlu kita miliki adalah sabar. Kerapkali yang menjadi masalah bukanlah tenaga kita, bukan juga minat mereka, tetapi daya tahan kita menghadapi kebosanan karena diminta membacakan buku yang sama persis 5 kali berturut-turut atau bahkan lebih.

TV & Online Game: Pembunuh Waktu yang Terhormat
Tidak ada media yang lebih efektif untuk menghancurkan minat baca melebihi kegemaran nonton TV buat anak-anak. Bukan soal tayangannya yang buruk (dan di Indonesia umumnya disesaki tontonan sangat buruk), tetapi terutama efek shallowing (pendangkalan berpikir) akibat menonton TV (meskipun tayangannya sangat bagus). Shallowing effect ini lebih parah lagi manakala anak-anak sudah tenggelam dalam keasyikan berinternet atau pun bermain gadget. Dan yang paling parah adalah ketika anak-anak sudah terjerembab ke dalam bius online game. Banyak akibat mengerikan yang ditimbulkan manakala anak-anak kecanduan game online. Mereka dapat menghabiskan waktu dan perhatian yang sangat besar dengan bermain game online. Ini belum soal akibat lanjutan berupa ketidakmampuan memusatkan perhatian, obsesi terhadap kekerasan, efek pornografis maupun rangsang kejahatan lain yang merupakan efek ikutan semisal penipuan.
Itu semua memang hanya akan terjadi pada anak-anak yang “sudah cukup umur”, semisal SD kelas 4 atau SLTP. Bukan balita. Tetapi tidak sedikit anak-anak balita yang dibiarkan asyik dengan gadget sehingga mengalami social autism (autism sosial), yakni anak sebenarnya tidak autis, tetapi mereka seperti anak autis karena tidak memperoleh cukup rangsang sosial dari orangtua. Mereka tenggelam dalam gadget.

Apakah gadget buruk bagi anak? Tidak, jika diberikan pada saat yang tepat dalam keadaan mereka memiliki kesiapan. Ibarat pisau bagi ibu-ibu, kehadirannya sangat penting untuk melakukan beragam kebaikan. Manfaat pisau sangat banyak. Tetapi bukan berarti anak-anak balita telah kita berikan pisau terbaik dari Jepang untuk mainan mereka. Begitu pun gadget semacam smartphone sangat besar manfaatnya, tetapi anak-anak harus memiliki landasan yang memadai sebelum menggunakannya sehari-hari. Selain berkait dengan orientasi hidup, bekal berupa budaya membaca juga sangat besar peranannya.
Setiap yang baik dapat disalahgunakan untuk keburukan, baik yang sangat tampak secara zahir maupun tersembunyi. Itu sebabnya mendidik niat sangat penting, termasuk kepada anak. Ini berarti, jika yang nyata-nyata baik saja dapat disalahgunakan, apalagi yang netral. Perlu bekal agar anak-anak dapat mempergunakan teknologi yang netral tersebut untuk kebaikan. Bukan sebaliknya.