Alat Peraga Edukatif

ALAT PERAGA EDUKATIF: Adalah istilah populer di dunia Pendidikan umumnya, dan khususnya Pendidikan Anak Usia Dini. Sebagai salah satu jenis permainan yg tidak saja mengedepankan sisi edukatif (proses pembelajaran) tetapi juga unsur hiburan bagi anak-anak yg memainkannya. APE juga bermanfaat untuk berbagai macam jenis therapy bagi banyak kalangan, mulai dari anak-anak usia balita, remaja, dewasa, hingga lansia, seperti okupasi therapy, brain gyms, dll. Sayangnya, istilah APE saat ini dipahami hanya sebatas APE u/PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Sehingga eksistensi APE bagi siswa SD, SLTP, SMU, Mahasiswa, dst. seolah-olah dinafikan sama sekali keberadaannya. Selain itu, APE seringkali digambarkan sebatas permainan berupa puzzle atau mainan bongkar pasang saja. Sehingga APE lain seperti tower hanoi, balok bangun, globe, rangka/anatomi tubuh manusia, origami, lego, dll. seolah-olah identik dengan puzzle. Benarkah demikian? Mari kita cermati bersama keberadaan APE di tengah-tengah sistem pendidikan yang ada di negeri ini.

Senin, 19 Desember 2011

Anak Mengemut Makanan Karena Pola Emosi Ortu

Perilaku mengemut makanan pada batita menimbulkan risiko. Mengemut makanan mengakibatkan waktu yang dibutuhkan untuk makan jadi sangat lama sehingga jadwal makan berikutnya pun mundur. Parahnya lagi, anak bisa mengalami gizi buruk lantaran mengemut secara otomatis menyebabkan porsi makanan per hati menjadi berkurang. Tak hanya itu, gigi-geligi anak pun bisa rusak karena mengemut mengakibatkan peluang terjadinya proses pembusukan lebih tinggi.

Menurut Pertiwi Anggraeni, M.Psi, perilaku mengemut makanan sebenarnya tidak muncul begitu saja, tetapi berkaitan dengan perjalanan sejarah makan si anak. Jadi, untuk mengetahui penyebab si batita ngemut, kata psikolog anak dan pengajar pada Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta, ini, orangtua hendaknya melakukan kilas balik mengingat sejarah perkembangan makan si anak.

Proses makan
Di usia 0-6 bulan, anak hanya menerima asupan berupa ASI. Masuk usia 6-9 bulan, anak mulai dapat menerima asupan berupa sereal bayi, sayur atau buah saring. Selanjutnya di usia 9-12 bulan, anak mulai mengonsumsi makanan padat yang bersifat lunak seperti potongan buah, sayur, roti, krakers, dan sebagainya.

Nah, mengacu pada riwayat perkembangan makan tersebut, orangtua dapat menelusuri beberapa hal, seperti:
* Apakah sejak awal anak sudah dikenalkan dengan rasa atau jenis makanan yang bervariasi?
* Bagaimanakah reaksi anak terhadap makanan yang diperkenalkan kepadanya?
* Bagaimana pula proses makan anak, apakah dengan waktu yang teratur?

Jika orangtua tidak mengajarkan cara makan yang benar seperti tidak mengikuti tahapan memberikan makanan, hanya makanan cair atau susu, maka anak tidak pernah belajar mengunyah dengan baik dan kemampuan oromotornya pun tidak pernah terstimulasi.

Pola emosi orangtuaTak kalah penting, bagaimana pola emosi ibu, ayah, atau pengasuh ketika memberikan makan. Apakah makan merupakan situasi yang menyenangkan bagi anak? Atau sebaliknya merupakan situasi yang menekan bagi anak, dapat berupa pemaksaan atau ada banyak bentakan kepada anak selama proses makan.

Mengemut makanan juga dapat sebagai bentuk protes lantaran dipaksa makan. Akibat pemaksaan yang tidak menyenangkan, acara makan pun diidentikkan oleh anak sebagai aktivitas yang tidak menyenangkan, sehingga ia lebih senang mengemutnya.

Aktivitas lain

Faktor lain yang memunculkan perilaku mengemut makanan adalah anak terlalu asyik dengan aktivitas selain makan. Misalnya anak makan sambil bermain, menonton televisi, atau sambil jalan-jalan. Aktivitas selain makan ini membuat anak "lupa" kalau di mulutnya masih ada makanan.

Selain perilaku mengemut makanan, ada dua masalah makan yang kerap muncul di usia batita, yakni pilih-pilih makanan dan makan sambil jalan-jalan.

Minggu, 18 Desember 2011

Learn and Play

Alat Peraga Edukasi

Bermain bagi anak adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi kesenangan maupun mengembangkan imajinasi pada anak.

Bermain dengan permainan edukatif adalah bermain dengan menekankan pada pengembangan aspek penglihatan, pendengaran, gerak motorik dan bahasa yang kesemuanya sangat penting dalam proses perkembangan anak usia dini.

Banyak kondisi bermain yang mengandalkan kertas dan pensil, sehingga alokasi waktu yang terserap berimbas pada tahap evaluasi hasil belajar yang hanya menekankan pada kemampuan baca dan tulis, padahal pada usia emas (golden years) yaitu 1-5 tahun memori anak berkembang dengan pesat. sehingga dibutuhkan kondisi yang riles, tanpa paksaan untuk menciptakan metode bermain yang efektif agar anak merasa aman, menghargai, dan menerima diri mereka sendiri dari segala aktivitas yang dilakukannya. Sebab anak-anak sangat menyukai proses pembelajaran tentang hal-hal baru yang pertama kali mereka alami.

Kebutuhan akan alat permainan yang mengandung nilai edukatif sangat beragam dengan berbagai macam fungsi di dalamnya, seperti pengendalian emosi, sosialisasi, bahasa, penalaran, mempertajam pengamatan (visual), serta sensor pendengaran (auditori) dan sebagainya.

Pengamatan yang dilaksanakan saat anak sedang bermain secara aktif maupun pasif, akan banyak membantu orang tua maupun tenaga pendidik untuk memahami jalan pikiran anak serta meningkatkan ketrampilan berkomunikasi.

Pemahaman tentang bermain juga akan membuka wawasan dan menjernihkan pendapat kita agar lebih fleksibel dengan keterlibatan dalam proses bermain sehingga memberi kesempatan yang lebih banyak kepada ananda untuk bereksplorasi terhadap kemampuan serta imajinasinya dengan demikian akan mendukung segala aspek perkembangan ananda.

Maria Montessori, seorang tokoh pendidikan menekankan bahwa ketika anak bermain, ia akan mempelajari dan menyerap segala sesuatu yang terjadi disekitarnya. Dengan demikian dibutuhkan perencanaan secara seksama terhadap lingkungan bermain dan belajar anak dengan pengadaan alat permainan yang mengandung unsur edukasi agar anak-anak merasakan proses pembelajaran yang menyenangkan.

Tahapan intelektual anak, berdasarkan Jean Piaget, yaitu :
1. Usia 0-2 tahun sebagai tahap sensorimotor
2. Usia 2-7 tahun adalah masa pra operasional
3. Usia 7-11 tahun disebut masa konkrit operasional
4. Usia 11-14 tahun adalah masa formal operasional

Pada masa sensorimotor dan pra operasional, panca indra berperan sangat besar, anak memahami konsep melalui benda konkrit. Dengan bermain terjadi pemrosesan input berupa stimulus dan konsep yang telah dimiliki anak sehingga terbentuk pengetahuan yang baru.

Maka pada perkembangan usia ini seharusnya kita dapat memanfaatkan secara maksimal proses belajar anak sambil bermain agar anak dapat memanipulasi positif, mempraktekkan, dan mendapatkan beragam konsep serta definisi yang tak terbatas jumlahnya. Sehingga terjadi proses belajar, dimana anak-anak mampu mengambil keputusan, memilih, menentukan, mencipta, memasang, membongkar, mengembalikan, mencoba, mengeluarkan pendapat, memecahkan massalah, mengerjakan secara tuntas, bekerjasama dengan teman, dan secara emosional mengalami berbagai macam perasaan.

Menurut Jane M. Healy, Ph.D, jaringan serabut syaraf akan terbentuk apabila ada kegiatan mental aktif dan menyenangkan bagi anak sebab setiap respon terhadap penglihatan, bunyi, perasaan, bau dan pengecapan akan memperlancar hubungan antar neuron (pusat syaraf). Seperti jalan setapak dalam hutan belantara yang semakin jelas terbentuk jika sering dilewati, demikian pula jika seringkali diadakan pengulangan sebuah konsep maupun pengertian akan mudah dikenali anak. Sehingga makin sering otak bekerja, maka ia akan semakin mahir dan trampil.

Jaringan otak dibedakan menjadi belahan otak kanan dan belahan otak kiri dengan masing-masing fungsinya, yaitu :
1. Fungs otak belahan kanan
- berminat pada berbagai kemungkinan
- suka menemukan sesuatu yang baru
- menjelaskan dengan banyak kegiatan
- menggunakan contoh-contoh yang penuh imajinasi
2. Fungsi otak belahan kiri
- berminat pada fakta
- senang akan keteraturan
- menjelaskan pikiran secara verbal
- menggunakan contoh-contoh yang faktual

Pada anak usia dini fungsi otak belahan kanan lebih dominan, mereka lebih bebas bermain sebab dengan bermain anak-anak memasuki proses pemahaman simbol. Proses berimajinasi yang diminati anak-anak juga membantu proses pengembangan kecerdasannya.
Ketika tumbuh besar, mereka mulai berlatih menggunakan fungsi otak kiri yang bersifat lebih teratur. Sehingga penggunaan alat bermain sebagai sumber belajar dalam situasi yang menyenangkan akan membantu anak dalam memahami konsep-konsep dan pengertian secara alami.

Hopefully bermanfaat.