Alat Peraga Edukatif

ALAT PERAGA EDUKATIF: Adalah istilah populer di dunia Pendidikan umumnya, dan khususnya Pendidikan Anak Usia Dini. Sebagai salah satu jenis permainan yg tidak saja mengedepankan sisi edukatif (proses pembelajaran) tetapi juga unsur hiburan bagi anak-anak yg memainkannya. APE juga bermanfaat untuk berbagai macam jenis therapy bagi banyak kalangan, mulai dari anak-anak usia balita, remaja, dewasa, hingga lansia, seperti okupasi therapy, brain gyms, dll. Sayangnya, istilah APE saat ini dipahami hanya sebatas APE u/PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Sehingga eksistensi APE bagi siswa SD, SLTP, SMU, Mahasiswa, dst. seolah-olah dinafikan sama sekali keberadaannya. Selain itu, APE seringkali digambarkan sebatas permainan berupa puzzle atau mainan bongkar pasang saja. Sehingga APE lain seperti tower hanoi, balok bangun, globe, rangka/anatomi tubuh manusia, origami, lego, dll. seolah-olah identik dengan puzzle. Benarkah demikian? Mari kita cermati bersama keberadaan APE di tengah-tengah sistem pendidikan yang ada di negeri ini.

Selasa, 26 Oktober 2010

ReNangYUUuuuk….!!!


“Ajarilah anakmu berenang sebelum menulis. Karena ia bisa diganti orang lain jika ia tak pandai menulis, tapi ia tidak dapat diganti orang lain jika ia tidak mampu berenang”.
Oleh-oleh dari Bunda Septi saat Parent Gathering di SOL : Lebah Putih.
Semangat dech jadinya ngajari tiga malaikat kecilku tuk nyemplung di air, padahal asli Ibunya juga takut ma air. Pertama masuk kolam renang langsung megap-megap, Bismillah, ibunya membulatkan tekad ini demi kemajuan anak2 akhirnya dalam tempo satu minggu bisa berenang. Hooreee… Senengnya luar biasa kayak anak kecil yang dapat mainan baru.
Ternyata efeknya luar biasa banget buat my little angel. Syafi jadi lebih pede, ga gampang menyerah kalo menemukan hambatan dalam proses belajarnya. Sebelumnya nih si sulung sering banget merengek minta bantuan Ibu dalam segala hal. Kalo si buyung, Ican jadi lebih panjang waktu konsentrasinya. Dia bisa duduk manis dalam waktu 15 menit ngerjakan lego, padahal sebelumnya cuma bisa konsen 2 menitan. Princess Sophie yang masih 4 bulan jadi makin nafsu makan dan lebih cepat merangkaknya.
Setelah nanya Oom gugel ma Tante Wiki ternyata ooh ternyata saat berenang seluruh anggota psikomotor difungsikan secara optimal. Mulai dari kepala sampai kaki bekerja bersama. Karenanya berenang dapat dijadikan simbol latihan fisik yang dimaksudkan untuk melatih kecerdasan tubuh (body smart). Mengembangkan kecerdasan tubuh atau kinestetik pada anak akan melatihnya terampil dalam mendayagunakan anggota tubuhnya untuk menciptakan atau mengubah sesuatu. Kecerdasan ini meliputi kemampuan fisik seperti koordinasi, keseimbangan, kekuatan, kelenturan, kecepatan dan kemampuan menerima rangsangan atau merespon sentuhan (tactile dan haptic).
Selain itu Alzena Masykouri, Mpsi, dari Cikal Sehat menambahkan, bahwa olahraga yang bersifat survival sport dapat membuat kemampuan motorik kasar anak meningkat, sehingga membuatnya lebih gesit dan sigap. Gerakannnya menjadi lebih terkoordinasi dan itu membuatnya tampil penuh percaya diri. Dengan modal itu, ia akan mampu bersikap luwes dalam pergaulan.”Koordinasi gerakan yang baik akan membantunya menampilkan sikap perencanaan yang baik. Sehingga, ia makin terampil dalam menyelesaikan persoalan sehari-hari yang ia hadapi,”jelasnya.
Woow , amazing!!!
But not only for Nanda, Ayah dan Ibu juga harus ikutan belajar lho. Diniatin biar bisa nolong Nanda kalo ada apa2 di kolam renang. Bismillah, everything we do, do the best 4 our kids.

Senin, 18 Oktober 2010

Awalnya adalah membaca.


Miracle Story
Terjadi pada Jennifer, yang terlahir dari rahim Marcia Thomas pada September 1984. Divonis positif menderita down syndrome, suatu jenis keterbelakangan mental yang ditandai oleh rendahnya IQ sehingga tidak memungkinkan seseorang hidup dengan wajar. Bahkan pada usia dua bulan Jennifer hampir mengalami kebutaan, tuli, dan keterbelakangan mental yang parah. Di usia yang masih belia pula, Jennifer harus menjalani serangkaian operasi bedah korektif karena mengalami gagal jantung.
Apa yang dilakukan Marcia? Terapi.
Yang bagaimana? yang membuat otak Jennifer mendapat rangsangan yang kaya sehingga kecerdasannya meningkat dan fungsi indranya bekerja lebih aktif.
Caranya? Diet membaca. Setiap hari Marcia membacakan sebelas buku pada buah hatinya yang masih bayi.
Hasilnya? IQ Jennifer melonjak tajam pada usia empat tahun, IQ-nya seratus sebelas.
Amazing, 111? Yes.
Menurut Paul Burns dalam Teaching Reading in Today’s Elementary Schools, ada banyak aspek yang bekerja saat kita membaca, yaitu sensori, persepsi, sekuensial (tata urutan kerja), pengalaman, berpikir, belajar, asosiasi, dan afeksi. Totalnya ada delapan aspek yang bekerja saat kita membaca. Apabila hal ini terjadi pada bayi, maka otaknya akan berkembang dengan pesat membangun sinapsis baru karena mendapat rangsangan yang kaya.
Why children need reading???
Ananda yang terbiasa membaca sedari kecil –bukan sekedar membunyikan huruf dan kata− akan memiliki ketrampilan, kemampuan dan ketajaman mencerna isi bacaan. Semakin sering Ananda membaca buku-buku yang bergizi, baik penuturannya dan teratur, maka kemampuan berpikir mereka akan lebih matang dan tertata. Ananda akan memiliki kerangka berpikir yang rapi serta mengembangkan kemampuan menimbang dan menilai dari apa yang Ananda serap dengan baik dari bahan bacaan.
Ananda akan mengembangkan rasa ingin tahu sekaligus kesabaran untuk memahami. Ia belajar untuk tidak tergesa-gesa. Ia juga belajar memahami segala sesuatu secara lebih teratur. Dengan membaca Ananda belajar mengendalikan diri, memusatkan perhatian, menghayati dengan perasaan, dan memahami makna tiap kata. Ini semua mematangkan emosi anak dan membangun kecakapan berpikir.
That’s way not only reading ability but the most important thing is the reason why kids need to read.
Ayah Bunda tidak hanya sekedar menggerakkan Ananda untuk memiliki kebiasaan Iqra’ semata. Lebih dari itu Ayah Bunda harus membuat Ananda gila membaca sejak usia dini, bismillah, dengan niat untuk menanamkan nilai-nilai keimanan di dada buah hati kita.
PE – ER nya??? Ayah Bunda harus menyajikan “bahan-bahan” yang bergizi untuk Ananda sebab sajian tersebut akan terekam dengan kuat dalam memori Ananda. Sayangnya, tak setiap buku dengan kemasan bagus, benar-benar bermanfaat bagi Ananda.

Fungsi Bimbingan Konseling (BK) di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB)


 Fungsi Bimbingan Konseling (BK) di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB)

Sebagaimana dalam sistem Pendidikan Formal, maka SKB yang merupakan salah satu Pendidikan Non Formal tentu memiliki unit BK dalam proses pembelajarannya. Hanya saja kebaradaan BK di SKB tidaklah terlalu mutlak ada sebagaimana di sekolah-sekolah formal. Mengapa demikian? Karena salah satu peran dan tugas wali kelas yang ditunjuk berasal dari para Pamong Belajar itu sendiri, adalah mengarahkan dan membimbing Warga Belajar-nya (sebutan bagi siswa/murid di SKB) yang "bermasalah". Masalah yang dialami oleh WB baik dari internal diri ybs maupun pada saat berinteraksi dengan WB lain dalam kelasnya ataupun juga timbul dari interaksi dengan Pamong Belajar/Tutor dalam proses belajar mengajar.

Masalah yang pertama, yaitu dari diri WB itu sendiri, meliputi aspek latar belakang sosial budaya yang melingkupinya, termasuk keharmonisan dalam keluarganya, pekerjaan orang tuanya, dll. yang kesemuanya bisa saja muncul dan menghambat proses belajar WB di SKB. Pada umumnya WB pada sisi ini memiliki ketergantungan sangat tinggi terhadap orang tua/walinya. WB merasa ikut memilki tanggung jawab dalam membantu pekerjaan orang tua/walinya. Bahkan tidak sedikit, WB dengan terpaksa atau kesadaran sendiri ikut membantu pekerjaan orang tua/walinya, yang akibatnya menomorduakan tugas belajarnya di SKB. Dari tahap wawancara, akan diketahui seberapa besar kemungkinan akan timbul dan munculnya keadaan ini nantinya pada saat proses pembelajaran mulai berlangsung. Para Pamong Belajar/Tutor yang bertugas menangani tahap wawancara, diharapkan mampu mengingatkan dan mengarahkan peran dan tugas masing-masing dalam keluarga, baik kepada orang tua/wali dan calon WB. Sehingga potensi konflik dalam keluarga akibat kemunculan perbedaan persepsi terhadap peran dan tugas masing-masing anggota keluarga, dapat dieliminir dan diupayakan solusi terbaiknya sejak dini. Di mana orang tua/wali dari WB, selayaknya menyadari bahwa tanggung jawab aspek ekonomi ataupun tugas-tugas kerumahtanggaan di rumah, bukan merupakan tugas dan peran utama bagi WB. Sementara WB tentu harus menyadari bahwa tugas dan peran utamanya adalah belajar mengeksplorasi dirinya semaksimal mungkin baik dalam proses pembelajaran tatap muka di kelas, melaksanakan tugas mandiri yang diberikan Pamong Belajar sebaik mungkin, serta mengikuti seluruh program tutorial yang sudah digariskan dalam KTSP terhadap dirinya selama satu tahun (dua semester) penuh. Meskipun demikian, bukan halangan bagi dirinya untuk membantu pekerjaan orang tua/walinya dalam melakukan segala jenis pekerjaan rumah tangga maupun membantu pekerjaan mencari nafkah (ekonomi). Demikian pula orang tua/wali dari WB, bahwa tugas dan peran utama WB adalah di SKB, yaitu dengan mengikuti seluruh proses pembelajaran semaksimal mungkin di SKB tanpa harus direcoki dengan berbagai pekerjaan kerumahtanggaan di rumah. Mereka juga memiliki tanggung jawab mengarahkan, membimbing, mengawasi ataupun mengingatkan WB dalam pelaksanaan tugas dan perannya dalam proses pembelajaran selama satu tahun pelajaran (dua semester) penuh, utamanya di rumah.

Masalah kedua yaitu kemungkinan munculnya potensi konflik antar sesama WB di kelas selama berinteraksi dalam proses pembelajaran selama satu tahun (dua semester) penuh. Hal ini disebabkan adanya perbedaan sosial budaya yang melingkupi masing-masing WB. Perbedaan latar belakang pendidikan maupun aspek ekonomi dari orang tua/wali dari WB, setidaknya dapat menjadi lahirnya potensi konflik perbenturan karakter, sikap, dan watak masing-masing WB di ruang kelas. Sehingga interaksi sosial antar WB dalam mendukung proses pembelajaran menjadi sedikit terganggu bahkan menghambat keharmonisan hubungan antar WB di kelas maupun di luar kelas. Hal-hal inilah yang menjadi tanggung jawab para Pamong Belajar yang mengampu mata pelajaran tertentu, para penanggung jawab berbagai program tutorial yang diberikan, maupun wali kelas masing-masing WB, untuk mengingatkan, menasehati, mengarahkan, membimbing, mengeliminir, hingga menyelesaikan potensi konflik yang muncul antar sesama WB yang mungkin saja terjadi di dalam ataupun di luar kelas. Sehingga keharmonisan hubungan antar sesama WB di dalam ataupun di luar kelas tetap dapat terjalin baik dan akhirnya menjadi faktor terbesar yang mendukung proses pembelajaran di ruang kelas, seperti dalam penyelesaian tugas mandiri secara kelompok, maupun saling membantu secara positif hambatan-hambatan dalam belajar yang besar kemungkinan selalu saja akan ada di antara individu-individu WB tadi.

Masalah yang terakhir atau yang ketiga, yaitu kemungkinan munculnya potensi konflik antara individu WB dengan para Pamong Belajar/Tutor di SKB selama proses pembelajaran/tutorial satu tahun (dua semester) penuh. Mengapa hal ini dapat terjadi? Sebagai manusia biasa, masing-masing individu WB maupun Pamong Belajar/Tutor tentu memiliki kelemahan-kelemahan yang bersifat manusiawi sekali, seperti sedang tidak badan/sakit/tidak fit dalam memberikan materi pelajaran, sedang bete/puyeng/pusing akibat memikirkan masalah-masalah keluarga ataupun masalah-masalah yang bersifat pribadi lainnya. Hal-hal seperti inilah yang terkadang bahkan seringkali menjadi faktor penghambat dalam memberikan materi pembelajaran tatap muka di ruang kelas. Perbedaan karakter masing-masing individu tadi (WB dan Pamong Belajar/Tutor) dalam memahami permasalahan yang ada baik yang muncul dari rumah maupun yang timbul di ruang kelas, tentu sedikit banyak akan mempengaruhi proses belajar mengajar di ruang kelas. Di sinilah tugas dan peran Wali Kelas dalam menjernihkan duduk permasalahan yang seringkali terjadi antara WB dengan Pamong Belajar/Tutornya. Sehingga tidak sampai berlarut-larut dan menjadi "bom waktu" yang akan siap meledak sewaktu-waktu. Seperti kasus berikut ini yang terjadi di salah satu SKB di salah satu Kabupaten di Jawa Tengah. Ada WB sebut saja Melati, yang memiliki karakter sikap dan bahasa tubuh yang dianggap oleh salah satu Pamong Belajar/Tutor yang mengajar di kelasnya, bahwa Melati seringkali melotot kepadanya. Persepsi yang muncul dalam diri Pamong Belajar tesebut adalah seolah-olah Melati sengaja menantang dirinya, tidak menghormati peran dan fungsinya sebagai Pamong Belajar/Tutor, ada kemungkinan Melati sengaja menentang dirinya manakala ada tugas-tugas yang akandiberikan, dll. Persepsi yang sepihak inilah yang dikeluhkan oleh Melati, sehingga dia secara khusus seringkali curhat kepada salah satu Pamong Belajar lain yang dianggapnya lebih bisa memahami karakter dirinya. Tetapi yang terjadi kemudian adalah, Pamong Belajar/Tutor yang berkonflik dengan Melati tersebut, merasa bahwa Pamong Belajar yang menerima curhat dari Melati ikut campur tangan bahkan membela Melati secara sepihak pula. Dalam kasus ini, peran dan fungsi BK di SKB tersebut tidak berjalan dengan baik. Barangkali, karena Pamong Belajar yang ditunjuk oleh pimpinan SKB tidak kualified dalam hal keilmuan BK ataupun mungkin karena faktor latar belakang Pamong Belajar tersebut yang memang berasal dari Guru Sekolah Formal yang pindah jalur ke Pendidikan Non Formal. Di mana karakter dan sifat kedua jenis pendidikan ini secara garis besar memang berbeda. Yang satu berkonsep Pendidikan Formal di Sekolah, sementara yang lain berkonsep Pendidikan Non Formal di Luar Sekolah. Perbedaan mendasar inilah yang seringkali tanpa sadar dialami dan mewarnai sikap para Pamong Belajar/Tutor dalam proses belajar mengajar di ruang kelas. SKB sebagai salah satu sektor Pendidikan Non Formal dengan konsep Pendidikan Luar Sekolah dipahami sebagai hal yang sama dengan Pendidikan Formal dengan konsep Sekolah (SLTP, SMU, dll.). Pada hal tidak demikian. Ruh Pendidikan Luar Sekolah dengan tiga matranya yaitu Tatap Muka, Tutorial, dan Tugas Mandiri, adalah perbedaan yang mendasar dalam memahami karakter dan watak setiap Warga Belajar yang menjadi peserta belajar di masing-masing paket belajar baik (Paket B, Paket C hingga Paket A, kalau memang diselenggarakan.). Tetapi menurut penulis, hal ini masih bersifat manusiawi sekali. Agak sulit memang memahami kebiasaan-kebiasaan Pendidikan Luar Sekolah, bila Pamong Belajar/Tutor tersebut berlatar belakang Pendidikan Formal di Sekolah setingkat SLTP, SMU, atau lainnya. Sama sulitnya memahami suatu permasalahan antara individu mahasiswa dengan dosennya yang berlatar belakang S1 ataupun S2. Perbedaan tingkat pendidikan akan melahirkan sikap dan persepsi yang berbeda di samping wawasan, pengalaman, dan keluasan keilmuan yang dimiliki masing-masing individu tadi jelas akan melahirkan penafsiran dan persepsi berbeda dalam memahami setiap permasalahan. Sebagaimana perbedaan persepsi dalam menjalankan tugas, peran, dan fungsi antara unit Bimbingan Konseling yang ada dengan tugas, peran, dan fungsi Wali Kelas, yang juga memiliki dimensi "bimbingan konseling" terhadap WB yang "bermasalah" dalam lingkup tanggung jawabnya. Di ranah inilah, Pimpinan SKB yang bersangkutan harus arif dalam mensikapi duduk persoalan yang ada dan mengambil keputusan yang terbaik, apakah unit Bimbingan Konseling (BK) tetap dipertahankan ataukah justru dilebur masuk ke dalam tugas, peran, dan fungsi Wali Kelas, yang mana memang sudah memiliki dimensi "bimbingan konseling" sejak awal, terhadap Warga Belajar yang "bermasalah" atau memiliki masalah di kelasnya. Agar kesan masyarakat umumnya dan Warga Belajar khususnya terhadap unit Bimbingan Konseling yang saat ini seolah-olah stagnan atau tidak berjalan dengan baik di atas relnya, dapat dieliminir sekecill mungkin.

Kridorejo Salatiga, 20 Juli 2010

Pandangan Masyarakat Terhadap Sanggar Kegiatan Belajar (SKB)


Tuesday, July 13, 2010 5:34 PM

Pandangan Masyarakat Terhadap Sanggar Kegiatan Belajar (SKB)
 
Pada suatu sore, pada saat saya sedang lembur kerja di kantor SKB Salatiga, guna penyiapan proposal kegiatan yang sudah disetujui pimpinan u/tahun anggaran 2010-2011, datang seorang Ibu separuh baya. Maksud kedatangan beliau ke tempat kerja saya adalah mencari informasi mengenai seluk beluk Sanggar Kegiatan Belajar. Dalam hati saya terkejut. Betapa tidak demikian. SKB Salatiga yang sudah berdiri lama di kota ini, ternyata masih terasa asing dalam benak pikiran warga kotanya. Apalagi Ibu sepatuh baya tadi mengaku sebagai tenaga pendidik (guru) di salah satu SMP swasta favorit di kota ini. Seorang guru yang asli warga kota ini, lahir dan dibesarkan di kota ini, ternyata memiliki pandangan yang sangat jauh dari pandangan para petinggi di Departemen Pendidikan negeri ini.

Dalam pandangan Ibu itu, SKB adalah semacam kursus ketrampilan yang mengasah salah satu atau lebih bakat dan minat individu warga belajar yang menginginkan mempelajari dan mengembangkan bakat dan minatnya lebih mendalam. Tidak salah memang bila hal ini tertanam kuat di kebanyakan warga masyarakat negeri ini. Karena selama ini, sebagai salah satu Pendidikan Non Formal (baca: Pendidikan Luar Sekolah), SKB/Sanggar Kegiatan Sekolah dapat disejajarkan dengan berbagai Kursus Ketrampilan yang tumbuh subur di negeri ini. Sementara mekanisme proses pembelajaran, sistem pengajaran, aspek kurikulum, akseptabilitas lulusannya untuk dapat meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, baik ke Pendidikan Formal maupun Non Formal, ataupun kemudahan dalam hal biaya SPP dll. ternyata masih mengalami distorsi yang sangat beragam.

Kualitas lulusan SKB dianggap masih kurang dapat bersaing dengan lulusan Pendidikan Formal baik di Tingkat SLTP maupun SMU/SMK. Sebagai sekolah "buangan" bagi para siswa yang dikeluarkan dengan berbagai kasus di sekolah asal, seperti merokok, berkelahi antar siswa bahkan berkelahi dengan guru, dll. Sehingga dapat dipastikan bagaimana hasil output lulusannya, demikian kira-kira pemikiran yang berkecamuk di dalam hati para orang tua siswa, guru sekolah Pendidikan Formal, maupun masyarakat luas. Mereka pada umumnya tidak mengetahui, bagaimana para Pamong Belajar SKB (penyebutan untuk istilah guru di Pendidikan Non Formal), tetap harus memenuhi kualifikasi sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya. Justru barangkali saja, kualitas para Pamong Belajar SKB, mungkin sedikit di atas rata-rata guru di Sekolah Formal. Mengapa demikian? Karena dengan beratnya tugas mengampu mata pelajaran yang siswa mereka rata-rata "bermasalah" justru kompetensi mengajar mereka akan diuji secara terus menerus, dari waktu ke waktu ke waktu, untuk dapat memberikan pengarahan di samping juga proses pembelajaran sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya, kepada warga belajar (sebutan khusus bagi siswa/peserta didik di Pendidikan Non Formal) mereka. Ditambah lagi dengan latar belakang para Pamong Belajar tersebut yang memang sesuai dan ahli di bidangnya. Pamong Belajar yang mengajar mapel matematika, biologi, fisika, sosiologi, geografi, sejarah PPKN, ketrampilan, dll. adalah merupakan alumni LPTK pada masing-masing mapel tersebut tadi. Sangat jarang dijumpai, seorang Pamong Belajar, mengajarkan suatu mapel tertentu yang tidak sesuai dengan disiplin ilmunya. Hal mana yang sering bahkan banyak dijumpai di sistem Pendidikan Formal pada umumnya, khususnya di daerah-daerah yang memiliki akses informasi terbatas.

Ibu itu melanjutkan pertanyaannya, "Lalu bagaimana dengan kualitas lulusan SKB, Bu..?" Saya menerangkan, bahwa kualitas lulusan SKB yang mengikuti Program Paket B, memiliki kesempatan yang sama/setara, dengan lulusan SMU pada umumnya. Karena SKB mempunyai mekanisme dan kurikulum yang juga memiliki standar nasional, artinya disusun oleh Direktorat Pendidikan Luar Sekolah yang menginduk juga pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sebagaimana Pendidikan Formal, sehingga sudah barang tentu kelulusannya termasuk ijazah-nya juga diakui setara oleh PT/PTS se-Indonesia. Saya memberikan contoh, ada siswa SMU Swasta terkenal di Jogja yang ujian sekolahnya lulusa, tapi pada saat mengikuti UAN pada tahun yang sama, siswa tersebut dinyatakan tidak lulus. Singkat cerita, siswa tersebut mengikuti Ujian Kesetaraan Paket B (Setara SMU) di salah satu SKB di DIY, kemudian ternyata lulus. Ijazah kelulusannya diakui sama dan setara oleh salah satu PTN favorit di DIY dan siswa tersebut berhasil diterima di Jurusan Informatika. "Wow.." begitu komentar Ibu tersebut. "Amazing.." lanjutnya. Terkejut juga saya menyaksikan bagaimana tanggapan beliau setelah mendengarkan cerita saya. Mengapa? Saya tidak mengira sampai sejauh ini, ketidaktahuan beliau, yang note bene termasuk guru/tenaga pendidikan di salah satu SLTP favorit di kota ini. Pada hal saya sebelumnya sudah memprediksi, bahwa informasi yang saya sampaikan tadi paling tidak sudah dimiliki oleh beliau. Karena beliau sudah memiliki jam terbang yang tinggi di bidangnya.

"Ada lagi satu keunggulan SKB yang tidak dimiliki oleh Sekolah-Sekolah di Sistem Pendidikan Formal pada umumnya". "Apa itu, Bu"? "Yaitu keterjangkauan biaya pendidikan yang sangat-sangat murah. Di SKB ini, biaya pendidikan Program Paket C (setara SLTP) hanya 15rb, yaitu untuk biaya pendaftaran saja. Sementara SPP tiap bulannya adalah gratis tis". "Lho? Dari mana pembiayaan proses belajar dan mengajarnya Bu"? "Dari dana block grand tahunan yang disetujui oleh Direktorat PLS Bu.." "Wow", beliau merasa sangat takjub mendengar penjelasan saya. "Dana tersebut memang ditujukan bagi siswa yang berlatar ekonomi tidak mampu, dengan menunjukkan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) yang dikeluarkan oleh Kelurahan di mana orang tua siswa tersebut berdomisili. Bahkan ada orang tua yang mampu secara ekonomi tetapi terpaksa meminta SKTM dari Kelurahannya, karena anaknya tidak diterima di sekolah manapun di kota ini, sehingga terpaksa bersekolah di SKB ini Bu.." "Sementara untuk Program Paket B (setara SMU), di samping 15rb biaya pendaftarannya, tetap dikenakan biaya SPP sebesar hanya 15rb saja tiap bulannya. Sangat terjangkau bukan Bu..?!" "Astaga, sedemikian murahnya ya Bu.. Di sekolah tempat saya mengajar, biaya tersebut menjadi berlipat 10-15 kalinya Bu.." "Padahal, lanjut Ibu itu lagi, kualitas ilmu yang diterima warga belajarnya tidak kalah dengan siswa SLTP/SMU ya Bu.." "Benar Bu, lalu, apakah Ibu berminat memasukkan putranya tahun ini? Batas waktu pendaftaranya sampai tanggal 16 Juli Bu.. yaitu tanggal di mana diadakan wawancara terhadap wali/orang tua dari siswa/warga belajar ybs." "Untuk apa Bu?" "Untuk mengetahui seberapa jauh kemauan belajar si anak dalam mengikuti dan mentaati proses pembelajaran di SKB ini. Karena, di SKB ini juga ada standar kelulusan yang harus dipenuhi oleh siswa/warga belajar agar dapat lulus/naik kelas. Tahun lalu saja, di SKB ini ada 3 (tiga) orang siswa yang tidak naik kelas, dan seorang siswa yang tidak lulus, karena hanya mengikuti satu kali ujian saja, selanjutnya tidak mengikuti mata ujian lainnya tanpa izin".

Apakah tetap berminat melanjutkan sekolah di SKB ini atau ke sekolah swasta???

Need deep...deep...deep...contemplation
Silahkan dipertimbangkan!!!